ANALISIS PERBANDINGAN CERITA
RAMAYANA DENGAN CERITA PANJI BAWANG MERAH BAWANG PUTIH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Sastra Bandingan
Dosen Pengampu: Drs.
Sukadaryanto, M.Hum
Oleh
:
Asih
Setyarini (2601409073)
Rombel 1
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji
serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas semua rahmat serta
karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tugas akhir yang berjudul “Analisis Perbandingan cerita Ramayana
dengan cerita Panji Bawang Merah Bawang Putih”.
Tugas
akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam Ujian Akhir
Semester genap mata kuliah Sastra Bandingan
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan Tugas Akhir ini.
Akhir
kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Tugas Akhir ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.
Semarang,
9 Juni 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Cerita Ramayana termasuk dalam cerita
wayang yang mengambil cerita epos yang berasal dari India. Pada dasarnya cerita
Ramayana adalah puisi (Kavya) yang dipakai untuk memberikan ajaran moral kepada
kaum muda yang meliputi ajaran moral (darmasastra), politik dan peperangan
(arthasastra), tata cara hidup (nitisastra). Cerita ini digubah dari Ramayana
Valmiki.
Di
pulau Jawa dan Bali, cerita Ramayana di terjemahkan dalam berbagai bentuk
tradisi dan seni. Cerita Ramayana di gambarkan pada rangkaian panil candi di
Candi Prambanan di Jawa Tengah dan Candi Panataran di Jawa Timur.
Petikan-petikan cerita Ramayana juga diterjemahkan dalam bentuk seni
pertunjukan seperti sendratari Ramayana yang biasanya dipentaskan secara
kolosal di alam terbuka dengan Candi Prambanan sebagai latar belakangnya.
Selain itu, Cerita Ramayana juga dipentaskan dalam bentuk pertunjukan wayang
baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali.
Cerita
Rakyat bawang merah bawang putih merupakan cerita rakyat yang berasal dari Jawa
Tengah, tidak diketahui siapa pembuatnya. Namun ada pula yang menyebut bahwa
cerita ini berasal dari Melayu. Namun baik dari Jawa tengah maupun melayu,
garis besar ceritanya tetap sama. Kisah ini bercerita mengenai dua orang
gadis cantik kakak beradik yang memiliki sifat dan perangai sangat berbeda lagi
bertolak belakang, serta mengenai seorang ibu tiri yang tidak adil dan pilih
kasih. Dongeng ini memiliki tema dan pesan moral yang hampir sama dengan
dongeng Cinderella dari Inggris.
Dalam
analisis sastra terdapat beberapa sudut pandang dalam mengapresiasinya.
Perbedaan sudut pandang inilah yang kemudian memunculkan adanya berbagai jenis
analisis sastra, tergantung dari mana sudut pandang yang dipakai. Dimulai dari
analisis structural, structural genetic, structural semiotic, mimetic,
ekspresif, stilistik, interteks, feminis resepsi, postcolonial dan postmodern
lainnya. Perkembangan ini sejalan dengan kemampuan dan kreativitas para
penikmat satra.
Dalam
tulisan ini, dibahas analisis sastra dari tinjauan pembaca yang biasa disebut
dengan analisis resepsi sastra. Resepsi berasal dari bahasa Latin recipere,
yang berarti penerimaan (pembaca). Beberapa decade terakhir, teori-teori postrkturalisme
memberikan perhatian yang serius kepada kompetensi pembicara.
Teori
resepsi (reception-theory) adalah teori sastra yang mementingkan tanggapan
pembaca terhadap karya sastra yakni tanggapan umum yang mungkin berubah-ubah
yang bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam
rentang waktu tertentu (Sudjiman 1984:74). Disini sudah cukup jelas bahwa teori
resepsi ini mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca
menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra.
Resepsi
sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang
dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus
1985:1). Lanjutnya tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif
dan tanggapan yang bersifat aktif. Tanggapan yang bersifat pasif adalah
bagaimana senang pembaca dapat memahami karya tersebut atau dapat melihat
hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu
bagaimana pembaca “merealisasikan”-nya.
Munculnya
penelitian resepsi sastra ini mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (besar)
dalam penelitian sastra khususnya dalam ilmu sastra modern. Selama ini
penelitian sastra hanya ditekankan pada teks dan dalam rangka memahami arti
teks tersebut seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks). Ari
sebuah teks (karya sastra) dapat dilihat dengan hanya mempelajari teks itu
dengan penulisnya.
Menurut
Segers (1978: 40-41), peletak dasar resepsi sastra adalah Mukarovsky. Meskipun
demikian, gagasan-gagasan pokok dan mendasar tentang teori resepsi sastra ini
dikemukakan oleh Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser, masing- masing dalam
bukunya yang berjudul Literaturgeschichte als Provokation dan Die Appelstruktur
der Texts. Jauss memusatkan perhatian pada pembaca dalam rangkaian sejarah,
sedangkan iser pada karya sastra sebagai komunikasi, pada pengaruh yang
ditimbulkannya, bukan semata-mata pada arti karya. Konsep terpenting Jauss
adalah horizon harapan (Krwartungshorizont) sedangkan Iser adalah
inderterminasi atau ruang kosong (Leerstellen).
Pada makalah ini, penulis akan mengomparasikan
teks Ramayana dengan cerita Panji Bawang Merah Bawang Putih, bagaimana keduanya
dikomparasikan dengan menggunakan teori resepsi sastra ini. Oleh karena itu,
pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai aplikasi resepsi sastra ini
terhadap Ramayana dan cerita Panji.
1.2
Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang diatas
masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana
motif cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih?
2. Bagaimana
penokohan cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih?
3. Bagaimanakah
resepsi pembaca dalam mengomparasikan cerita Ramayana dan Bawang merah bawang
putih?
1.3
Tujuan
Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan
bagaimana motif cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih serta tanggapan
atau resepsi pembaca dalam mengomparasikan cerita Ramayana dan Bawang Merah
Bawang Putih.
1.4
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara
praktis.
Secara teoritis
penelitian ini dapat dipakai sebagai sumbangan pengetahuan mengenai teori
sastra khususnya tentang teori resepsi sastra.
Secara praktis
penelitian ini diharapkan mampu untuk
menjelaskan perbedaan dan persamaan cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang
Putih. Dalam proses pengomparasian dibutuhkan kejelian, ketelitian serta
pemahaman untuk bisa menafsirkan dan membandingkan kedua cerita ini.
Melalui perbandingan kedua cerita
ini diharapkan mampu untuk memetik pesan-pesan moral dalam kedua cerita ini.
Selain itu, makalah ini dibuat sebagai bahan pengetahuan dan referensi bagi
rekan-rekan yang akan mengkaji teori resepsi sastra.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sejarah Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari
antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang
memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang
karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang
Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di
Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman
ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia.
Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra,
tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi
sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus,
1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan
pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna,
modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai
aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan
dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang
kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh
dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi,
sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua
hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya
dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh
kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis
penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan
anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang
kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang
keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
Michael Riffaterre (1959) dengan jelas
mendasarkan analisis stilistika-nya kepada dunia pembacanya/penerimanya. Ia
mengidentifikasi pembaca sebagai informan yang boleh “dipancing” untuk
memberikan tanggapan, dan inilah yang disebut dengan Average Reader. Dengan
ini, Riffaterre memang mempunyai pikiran yang sama dengan yang berkembang pada
resepsi sastra, meskipun tidak meluas.
Demikianlah sejarah awal munculnya teori
resepsi sastra, yang selanjutnya akan dirumuskan dan dikembangkan oleh Jausz
dan Iser, serta dianggap sebagai teori resepsi sastra yang dianut saat ini. Hal
ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya.
2.2
Teori Resepsi Sastra
Teori sastra respon pembaca sering juga
dikenal dengan istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian
pada hubungan antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan
konseptual kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin
melihat relasi pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada
teori ini adalah kritik respon pembaca ( reader-response criticism ). Kritik
ini menyatakan bahwa “makna” karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan
atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek
kolektif. Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam
memasukan makna kedalam teks sastra. Kritik ini menganggap bahwa orang yang
berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya
sastra secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh
mana kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai
konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap
interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini
menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling
benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat
mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif,
maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.
Jauss sebagai tokoh perumus dan
pengembang teori resepsi sastra, dalam teorinya ia memusatkan perhatiaan
bagaimana suatu karya diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horizon
penerimaan tertentu atau erwartungshorisont atau horizon of expretion.
Partisifasi pembacalah yang menghidupkan karya sastra. Sebuah karya baru
menjadi peristiwa sastra, bila karya itu telah dilihat dengan adanya hubungan
antara karya sastra lain. Suatu karya akan menyebabkan pembacanya memberikan
reaksi tertentu berdasarkan textual strategy tertentu. Jadi bisa kita asumsikan
bahwa penerimaan dapat dilihat sebagai perluasan dari aspek semiotic yang
timbul dalam pengembangan dan perbaikan suatu system. dengan kata lain
perubahan horizon penilaian juga bisa mengalami perubahan.
Penerimaan karya sastra dalam lapisan
masyarakat bisa terjadi dengan berbagai macam kemungkinan. Reaksi atau
parsitifasi aktifnya terjadi dalam bentuk adanya orang yang menciptakan karya
sastra yang lain. Reaksi ini berbeda dari penerimaan pasif yang sifatnya hanya
mengomentari, menyukai, memberi kritikan dan memberi masukan terhadap karya
sastra tersebut. Memperhatikan bagaimana karya sastra diterima oleh seorang
penulis, yang lebih kemudian dan bagaimana seterusnya ia bisa melanjutkan,
memberikan kemungkinan lain; estetika dan presfektif peluang/kemungkinan
penyusunan sejarah serta yang lain, yang menekankan pada aspek perkembangannya
dalam hal ini karya sastra Ramayana dan cerita rakyat Bawang merah bawang putih
sebagai objek yang akan ditelaah.
Pendekatan Jauss menekankan aspek
penerimaan dalam hal ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya
sebelumnya, yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya,
atau bagaimana seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga
karya itu bermakna tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada
keaktifan pembaca kepada kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam
proses pembacaan. Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan
mereka. Pernyataan ini mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa
karangan lain yang mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang
pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini memberikan krangka bagi perkembangan
sastra karena pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca,
bukan sebatas kesan seperti yang di asumsikan oleh Iser.
Secara definitif resepsi sastra berasal
dari kata recipere (latin), reception (inggris) yang berarti sebagai penerimaan
atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo bahwa
resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan
atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu. Selanjutnya, Endraswara
mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh
pembaca.
Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang memfokuskan
perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap
karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut. Pembaca yang
dimaksudkan dalam resepsi terbagi menjadi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca
ideal. Pembaca biasa adalah pembaca dalam arti yang sebenarnya, yang membaca
karya sastra sebagai karya sastra bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal
adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian.
Dalam penelitian resepsi ada dua cara,
yaitu sastra sinkronis, meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca
sezaman dan resepsi sastra diakronis melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Iser
(Ibid: 182-203) mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh
penulis, dimana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya.
Ruang kosong dengan sendirinya merupaka lokus utama
bagi kualitas interpretasi. Dalam hubungan ini dikatakan bahwa pembaca
diarahkan oleh teks. Dalam hubungan ini jelas kemampuan pembaca sebagai
instansi memegang peran penting, artinya pembaca yang bisa diarahkan justru
pembaca yang memiliki kemampuan, pembaca sebagai gudang pengalaman, bukan
pembaca yang miskin pengalaman
Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi
yang paling menonjol dalam lingkup teori sastra.
1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah
aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika
hans Robert Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a
Challenge to Literary Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori
tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan
pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan
pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum
terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda.
Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran
teoretisnya. Secara singkat ketujuh
tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan
makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas
sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra: selalu
memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru
yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang
dapat diterima pembaca masa kini. Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca
mengapropriasikan masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai
akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman
mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari
pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa seharihari.
Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak
baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah
memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah sistem penerimaan yang khas melalui
tanda-tanda dan kode-kode dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal
sebelumnya. Jadi, ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman
pencerapan estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan
memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks sastra.
3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara
horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses
penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap
pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul
suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut penerimaan sastra
sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang selalu memenuhi horison harapan
sesuai dengan cita rasa keindahan, sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal.
Justru karya sastra yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap
karya sastra sejak diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini,
akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda.
Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektis,
tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.
5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar
memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut
agar kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra agar
lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya
sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan
sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk
menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara
sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejaran sastra
menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem
sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat
dipisahkan.
7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya
dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis,
melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik
dari sejarah sastra perlu perlu mendapat kepunuhannya dalam sejarah umum.
Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi
sosial yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya
sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan
mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya,
dan akhirnya memiliki pengaruh kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss
tempaknya memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan sastra
modern.
Hans
Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori
resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai
penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998:
133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und
wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah
yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam
kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi
sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang
terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya
dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman
pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek
yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi
pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang
beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda
pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan
baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan
pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi
fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki
pembaca atas pengalaman sebelumnya. (Jauss 1983: 21)
Teori
resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis
berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu
menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan
historisnya dalam konteks pengalaman kesastraannya. Pada tahapan sejarah
resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir
memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian
dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan
moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan
permasalahan baru.
Teori
resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat
dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut.
Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan
adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss
mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis,
artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak
dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari
horizon harapan setiap pembacanya.
Horizon
harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca
sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison
harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya
di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk
dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa
praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi
tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam
meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut
mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horizon
harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan
dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers
(dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama,
ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca
oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas
semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara
fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon
sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari
pengetahuannya tentang kehidupan.
Menurut
Jauss, horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2)
pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat
melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap
pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa
nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
Kehadiran
makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca
yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan
interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam
masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara
karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan
historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan
menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis
karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan
pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan
pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru
yang mendominasi.
Koherensi
karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon
harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan
pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan
aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1)
hakikat yang ada disekitar pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan,
pendidikan, tempat tinggal, dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada
pembaca; (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca; (4) pengalaman
analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks; dan (5) siatuasi
penerimaan seorang pembaca.
Konsep
horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca
oleh pembaca; (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah
dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya
kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun
dari pengetahuan tentang kehidupan.
2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh
eksponen mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model
sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual
antara teks dan pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser
bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi di dalam teks
yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata
lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan
kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam
bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978).
Menurut Iser, tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi
penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi
sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang
esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan
pembacanya. Teori fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra
tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi
teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang,
yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh
pembaca).
Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa
karya saastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub
artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang
diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi
antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca
(psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap
pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang terdapat
dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan
penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada
efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan
mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan
penerimaan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan
potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena
makna teks bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang
dinamik, dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya.
Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas
dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting bagi
pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis. Apa yang
dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang
sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis sesungguhnya bermakna
ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yang dibangun dan
digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan
makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di luar teks. Pandangan Iser
tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai
pembaca implisit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnya.
Menurut Iser, konsep tradisional
mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata
atau pembaca historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh
pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan
sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal
yang memahami kode-kode pengarang. Selain teori-teori tradisional tersebut,
terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut
Iser tidak bebas dari kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader,
yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang
berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan
pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila
terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain
di luar teks.
2) Stanley Fish mengajukan istilah informed
reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep
Rifattere. Untuk menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan
syaratsyarat:
a) kemampuan dalam bidang bahasa,
b) kemampuan semantik,
c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini
seorang informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat
diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya.
Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman
pembaca.
3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni
model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan
idenya.
Model pembaca ini mengacu kepada
pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan
norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu
menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika seorang
pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu memberikan arti kepada sebuah
teks? Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi
kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca. Pembaca tersirat
sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di dalam teks sastra. Teks
sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi aktualisasi yang memungkinkan
pembentukan maknanya dalam benak pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian,
kita harus mencoba memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa
prasangka tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah
mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten maupun tidak. Teks
menampung segala macam pembaca, siapapun dia, karena struktur teks sudah
menggambarkan peranannya.
Perhatikan bahwa teks sastra disusun
seorang pengerang (dengan pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat
perspektif utama, yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai
pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks.
Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat
dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan
pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetif-perspektif tersebut dalam
satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif.
Instruksi-instruksi yang ditunjukkan
teks merangsang bayangan mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh
struktur teks. Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur
teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak
pembaca) yang menerjemahkan realitas teks ke dalam realitas pengalaman personal
pembaca. Secara konkret, isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi
oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep implied
reader memungkinkan kita mendeskripsikan efek- efek struktur sastra dan
tanggapan pembaca terhadap teks sastra.
2.3
Dasar-Dasar Resepsi Sastra
Pada mulanya teori formalis Rusia dan
strukturalisme Praha yang dimulai
awal abad ke-20 menjadi bahasan
utama dalam menganahsis sastra.
Namun, sekitar setengah abad kemudian
mulai diingkari. Teori yang secara khusus memberikan perhatian pada
struktur formal mulai ditinggalkan,digantikan dengan cara memberikan intensitas
pada relevansi pembaca. Pemahaman
dengan memberikan perhatian pada pembaca
inilah kemudian disebut sebagai
resepsi sastra (rezeptionsasthetic).
Tokoh yang perlu disebutkan
adalah Mukarovsky. Sesuai dengan
judul bukunya, yaitu Aesthetic Function, Norm, and Value as Social
Facts, menurut Mukarovsky (1979: 94-95; Segers, 1978: 38), adalah fungsi-fungsi
estetis yang berhubungan dengan
nilai sebagai fakta-fakta sosial.
Norma estetis adalah regulator
terhadap fungsi estetis itu
sendiri, aturan yang bergerak secara terus-menerus dan
selalu diperbaharui.
Teori resepsi antara lain dikembangkan
oleh RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika. (1978) Di dalam pengantarnya
ia menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie
esthetika geintroduceerd" (RT. Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi
esthetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada akhir taboo 60-an. la
menunjuk artikel Roman Jacobson: "Linguisties and Poeties" (1960)
yang berisi sebuah model komunikasi. Pada penerbitan yang terdahulu D.W. Fokkema
dkk. (1977) menyajikan "The Rezeption of Literature: Theory and Practice
of'Rezeptionns aesthetik" dalam bab 5 bukunya yang berjudul "The
ories of Literature in The Twentieth Century. Di dalam bab 5 mereka mengutip
pendapat Lotman (1972) "Infact, the literary work consist of the text (the
system of intra-textual relations) in its relation toextra-textual reality:
10literary norms, tradition and the imagination". Selanjutnya ia mengutip
pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) "Reception (therefore) occurs as a
process creating meaning, which realizes the instructions given in the
linguistic appearance of the text" (D.W Fokkema, 1977: 137).
Buku Receptie Esthetika diawali dengan
dasar-dasar resepsi estetika yang diletakkan oleh Hans Robert ]auss dan
Wolfgang Iser. Menurut ]auss (1970) ada tiga dasar faktor cakrawala hardpan
yang dibangun pembaca:
(1) norma-norma genre terkenal teks yang
diresepsi;
(2) relasi implisit dengan teks yang
telah dikenal dari periode sejarah sastra
yang sarna;
(3) kontradiksi flksi dengan kenyataan.
Ada tiga macam pembaca:
(1) Pembaca sesungguhnya
(2) Pembaca implisit
(3) Pembaca eksplisit
Menurut Segers (1975) pembaca sesungguhnya termasuk
kategori yang paling mendapat perhatian, termasuk dalam toori esthetika.
Menurut Iser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan yang terletak di
dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca
sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen di dalam teks yang diberikan.
Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan
bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang
“mengharuskan” para pembaca mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat
karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi
tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks
tersebut. Pengisian tempat terbuka ini
dilakukan melalui Proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca.
Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah
konkretisasinya akan “sempurna” dalam mengisi “tempat-tempat terbuka (open
plak) dengan baik.
Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi
terbagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca ideal. Pembicara biasa adalah
pembaca dalam arti sebenarnya, yang membaca karya sastra sebagai karya sastra,
bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya
sastra sebagai bahan penelitian. Pembaca ini membaca karya sastra dengan tujuan
tertentu (Junus, 1985:52).
Luxemburg (1982:77) menyatakan pembaca “di
dalam” teks atau pembaca implisit dan pembaca “di luar teks” atau pembaca
eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang
ialah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si pengarang dan yang
terwujud oleh segala petunjuk yang kita dapat dalam teks. Pembaca eksplisit
adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.
Dalam meneliti karya sastra berdasarkan
metode estetika resepsi, sesungguhnya dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu
cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah penelitian resepsi terhadap
sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode sastra, sedangkan
diakronik adalah penelitian terhadap sebuah karya sastra dalam beberapa masa
atau beberapa periode sastra, dari masa karya sastra terbit, kemudian resepsi
periode selanjutnya hingga sekarang. Dengan kata lain, sinkronik meneliti karya
sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman atau satu periode sastra. Cara
kedua lebih rumit karena melibatkan tanggapan pembaca sepanjang sejarah atau
beberapa periode sastra (Ratna, 2008:167).
Penggolongan suatu karya sastra ke dalam
suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap
periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri
khas sastra setiap periode /
angkatan merupakan gambaran dari Masyarakatnya
sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya serta ciri-ciri unsur intrinsik
dan ekstrinsik karya sastra itu sendiri. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah
penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut :
1. Periode 1920-an atau Masa Balai Pustaka
2. Periode 1930-an atau Masa Pujangga Baru
3. Periode 1945-an atau Masa Angkatan 45
4. Periode 1966-an atau Masa Angkatan 66
5. Periode 1970-an atau Masa Sastra Kontemporer
6. Periode 2000-an atau Masa Angkatan 2000.
2.4
Teori Perbandingan
Pada hakikatnya sastra perbandingan
adalah membaandingkan antara dua karya sastra atau lebih dalam kurun waktu yang
berbeda atau dalam waktu yang bersamaan. Sastra perbandingan masih termasuk
dalam wilayah kritik sastra. Dalam membandingkan karya-karya sastra ini adalah
untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam karya sastra
tersebut.
Menurut Babirin (dalam Sukadaryanto
2010:101) metode perbandingan dalam studi sastra perbandingan pada dasarnya
adalah kritik sastra yang objek telaahnya lebih dari satu. Maka metode yang
dipergunakan metode kritik sastra. Kegiatan yang dilakukan juga sama yang
dilakukan juga sama yang dilakukan dengan kritik sastra, yaitu menganalisis,
menafsirkan, dan menilai. Karena objeknya lebih dari satu maka masing-masing
objek haruslah dianalisis atau dikaji dengan teori yang sesuai dengan persoalan
yang ada di dalam karya sastra. Barulah kemudian hasil analisis tersebut
diperbandingkan.
Dalam sastra perbandingan ada dua metode
yang dipergunakan, yaitu:
1. Metode
Perbandingan Diakronik
Metode
ini memperbandingkan dua karya sastra yang berbeda periodenya. Contohnya cerita
Roro Mendut dan Pronocitro dengan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang menyoroti
tentang eksistensi wanita.
2. Metode
ini membandingkan dua karya sastra yang dalam satu periode. Contohnya cerita
Serat Ngulandara karya Margono Sastro Admojo dengan Serat Rijanta karya
R.B.Soelardi.
Perbandingan dapat pula dilakukan antara
karya sastra satu periode (Jawa Kuna) dengan karya sastra periode yang lain
(zaman Surakarta). Setelah ditelaah dan diperbandingkan antara dua buah karya
sastra yang berbeda periodenya, ditemukan pula konvensi yang diteruskan sambil
ditentang, serta invensi yang memisahkan kedua angkatan tersebut. Maka, dapat
ditarik adanya garis pemisah yang membedakan antara kedua periode tersebut.
Pada eksistensinya metode perbandingan
ini dapat sangat diperlukan untuk mengetahui atau menjaring beberapa karya
sastra yang sekiranya belum terungkap keberadaan atau generalisasinya dengan
karya sastra yang masih ada hubungannya dengan karya sastra yang terdahulu.
Sehingga orang akan tahu bahwa karya sastra yang satu masih ada hubungannya
dengan karya sastra yang lainnya.
2.5
Motif
Cerita
Secara sangat umum, sebuah unsure yang
penuh arti dan yang diulangi didalam satu atau sejumlah karya sastra. Bila
berkaitan dengan berbagai karya sastra (pendekatan historis-komparatif) sebuah
kesatuan semantic yang tanpa perubahan atau dengan perubahan atau dengan
perubahan kecil muncul dalam karya-karya itu.
Didalam suatu karya (pendekatan
strukturalis), unsure arti yang paling kecil didalam cerita. Motif dapat berupa salah satu gagasan yang dominan
di dalam karya sastra yang dapat berupa peran atau citra yang berulang pola
pemakaian kata dasar. Motif yang umum dapat dipergunakan untuk menggaambarkan
atau membandingkan motif dari orang yang berbeda-beda. Pengertian motif disini
memeperoleh fungsi sintaksis. Dibedakan antara motif dinamis dan statis. Yang
pertama berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dalam cerita atau motif intrigue.
Yang kedua berkaitan dengan situasi dan menentukan pelukisan suasana atau
watak. Bila dibaca lalu direfleksi, maka para pembaca akan melihat motif-motif
tadi secara keseluruhan dan dapat menyimpulkan satu motif dasar. Apabila motif
dasar tersebut dirumuskan kembali secara metabahasa, maka dapat ditemukan tema
dalam sebuah karya sastra (Hasanuddin, 2007:521-522).
Philip Frick Mckean menerapkan cara
penganalisisan strukturalis Alan dundes terhadap dongeng-dongeng kancil dari
khazanah folklor jawa.Dari struktur dongeng-dongeng kancil, moufeme-moufeme
yang ditunjukkannya adalah secara benturan dari lack liquidates (LL) ke lack
liquidates (LL) kembali.menurutnya,berdasarkan urutan motifeme tersebut.dapat
disimpulkan bahwa ideal folk jawa selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari
isi dongeng-dongeng Sang kancil, diketahui bahwa kancil mewakili tipe ideal
orang jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang, yang
Mckean sebut sebagai cool mintellgence dalam menghadapi kesulitan,selalu dapat
dengan cepat memecahkan masalah yang rumit tanpa banyak ribut-ribut tanpa banyak
emosi (Mckean,1971-83-84 dalam Danandjaja,1994:96).
2.6
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita
(Aminiddin, 1995:79). Mengenal penokohan, menurut Wellek dan Waren (diterjemahkan
oleh Melani Budianta, 1990:288), ada penokohan statis dan ada penokohan
berkembang.
Penggunaan istilah tokoh merujuk pada
pelaku cerita, menurut Abrams tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan yang
dilakukan dalam tindakan, (Nurgiantoro, 2007:165)
Penokohan atau perwatakan adalah
pelukisan tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk
keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat
pengarang dalam karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu,
penokohan merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita
menjadi lebih nyata dalam angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang
untuk melukiskan watak tokoh cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak
langsung, dan kontekstual. Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung
melukiskan keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik,
atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara tidak langsung,
pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita. Watak tokoh
dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh, bahkan dari
penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui tokoh lain yang
menceritakan secara tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual, watak tokoh
dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu kepada
tokoh.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Motif Cerita
3.1.1 Motif Percintaan
a. Motif Percintaan Ramayana
Motif percintaan dalam cerita Ramayana
adalah percintan antara Rama dengan Sinta seperti dalam kutipan berikut ini :
“Dalam pada itu Rama
mulai sadar, bahwa telah terjadi sesuatu dengan istrinya. Rasa was-was itu
ternyata benar ketika Laksmana muncul dengan pakaian kusut dan rambut tak
teratur membawa kabar bahwa Sita hilang. Rama berkeliling kemana-mana mencari
istrinya yang hilang. Ia menemukan bekas-bekas pertempuran yang dahsyat, kereta
patah dan sayap yang terpotong. Dalam amarahnya ia hampir saja memusnahkan
seluruh dunia dengan panahnya tetapi dicegah oleh adiknya. Kemudian mereka
menemukan Jatayu yang terluka parah; sebelum menghembuskan nafas terakhir ia
menceritakan apa yang terjadi. Setelah Jatayu diperabukan, mereka meneruskan
perjalanannya. Mereka bertemu dengan raksasa yang bernama Dirghabahu yang
dibebaskan dari suatu kutukan dan menjelma kembali menjadi seorang anak dewi
Sri, dan dengan Sibari seorang pertama yang tinggal sendirian, yang kemudian
dibebaskan Rama dari penderitaanya, akibat kelakuan yang kurang baik. Keduanya
member nasehat, supaya Rama menuju gunung Rsyamuka dan minta bantuan kepada
Sugriwa, raja para kera yang sangat sakit hati karena istrinya yang bernama
Tara, dengan paksaan dilarikan oleh adiknya yang bernama Bali; keduanya
meramalkan, bahwa ia akan menemukan kembali Sita, isterinya. Menyusullah suatu
lukisan panjang lebar mengenai perjalanan Rama lewat hutan Pratikampa;
keindahan alam sekitarnya hanya memperdalam dukanya, karena kehilangan istri.”
“Hujan turun, musim
yang menimbulkan rasa rindu akan seorang kekasih. Rama melewatkan musim ini
dalam kedukaan yang dalam dan tak terlukiskan. Segala sesuatu yang terjadi di
alam raya kelihatan baginya sebagai akibat perbuatan dewa Kama yang ingin
mengingatkannya akan Sita dan demikian menyikasanya.”
Rama
dan Sita melakukan perjalanan, hingga kemudian Sita diculik Rahwana. Rama yang
demikian cintanya akan istrinya begitu sedih atas kejadian itu. Namun akhir dalam cerita percintaan ini
adalah bahagia karena Rama dan Sita bertemu kembali.
b.
Motif
Percintaan Bawang Merah
Dalam cerita ini terdapat motif
percintaan antara pangeran dan Bawang putih yang berakhir bahagia, seperti pada
kutipan berikut :
“Sementara
Pangeran mendekati Bawang putih dan memegang tangannya sambil berkata,”Diajeng
bwang putih bersediakah engkaau menjadi istriku?”. Bawang putih mengangguk
pelan. Wajahnya tertunduk malu. Demikianlah, bawang putih yang baik hati dan
senantiasa bersabar atas derita itu akhirnya diboyong ke istana untuk menjadi
istri pangeran. Mereka hidup bahagia hingga akhir hayat.”
Analisis perbandingan:
Dari motif percintaan kedua cerita tersebut
ada persamaan dan perbedaannya. Persamaannya yaitu akhir cerita yang sama-sama
bahagia, dalam cerita Ramayana Rama dan Sita akhirnya dipertemukan kembali
sebagai sepasang suami istri sedangkan dalam cerita bawang merah bawang putih
Bawang putih dan Pangeran akhirnya dipertemukan dan kemudian menikah dan hidup
bahagia selamanya. Akhir yang bahagia merupakan ciri khas cerita Indonesia,
sehingga pembaca tidak dituntut untuk meresepsikan sendiri akhir cerita
tersebut. Selain itu persamaan lain adalah bahwa sepasang kekasih itu berpisah
untuk mengembara.
Sedangkan perbedaanya adalah dalam Ramayana
lebih dijelaskan runtu bagaimana perpisahan mereka sedangkan dalam Bawang merah
dan bawang putih tidak.
3.1.2 Motif
Pengembaraan
a.
Motif
Pengembaraan Ramayana
Motif
cerita Pengembaraan seperti ketika Rama, Sita dan Laksmana mengembara ke hutan
dandhaka dan ketika Hanuman dalam pengembaraannya mencari Sita atas perintah
Rama. Seperti dalam kutipan berikut :
“Di Ayodhya diadakan persiapan bertepatan dengan
upacara penobatan RamaRama, Sita dan Laksmana meneruskan pengembaraan mereka
dan tiba di hutan Dandaka, tempat mereka membunuh seorang raksasa yang bernama
Wiradha, yang menyerang mereka; sesudah itu mereka menetap di pertapaan
Sutiksna dan menjalani kehidupan sebagai pertapa. Senjatanya hanya mereka bawa
untuk melindungi pertapa-pertapa lainnya.”
“Dalam perjalanan lewat udara Hanuman berjumpa
dengan seorang raksasi yang menyerang dan menelannya, tetapi Hanuman menyobek
perut si raksasi yang kemudian jatuh ke laut. Oleh gunung Menaka, sahabat ayah
Hanuman, sang dewa angin, ia dipersilahkan untuk beristirahat dipuncaknya,
tetapi karena terdorong oleh rasa tanggung jawabnya terhadap Rama, ia tidak mau
menunda perjalanan.”
b. Motif Pengembaraan
dalam Bawang Merah bawang putih
Motif
pengembaraan dalam Bawang merah bawang putih ini ketika sang pangeran
mengembara untuk mencari permaisuri yaitu bwang putih. Seperti dalam kutipan
berikut :
“Pada suatu hari ada
Pangeran Kerajaan disertai patih dan pengawal yang melintasi tempat itu.
Pangeran sangat tertarik atas keindahan bunga yang mekar di halaman rumah
Bawang Putih. Pangeran turun dari kudanya dan bertanya siapakah yang menanam
bunga itu. Begitu melihat ada seorang pangeran memasuki halaman rumahnya
seketika Bawang merah dan ibunya segera menyambut dengan tergopoh-gopoh”
Analisis :
Dari motif pengembaraan diatas perbedaan kedua
cerita tersebut adalah latar belakang pengembaraan, dalam cerita Ramayana
pengembaraan dilakukan karena Kaikeyi, ibu Barata yang mengusulkan Baratalah
yang seharusnya menjadi Raja sedangkan dalam cerita Bawang merah Bawang putih
latar belakang pengembaraan adalah karena sang pangeran ingin mencari
permaisuri yang diidamkannya.
Sedangkan persamaan dari kedua cerita tersebut
adalah keduanya sama-sama mengembara dan ditemani oleh seseorang. Dalam
Ramayana ditemani oleh Sita dan Leksmana sedangkan dalm bawang merah bawang
putih ditemani oleh prajurit-prajuritnya.
3.1.3 Motif Pelaksanaan
perintah
a. Motif Pelaksanaan
perintah dalam Ramayana
Ada beberapa motif pelaksanaan perintah dalam cerita
Ramayana, motif-motif tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ketika
Ayah Rama diperintah untuk memepersembahkan sebuah korban agara dikaruniai
anak.
“Atas perintah Raja
Dasaratha, raja Ayodya dipersembahkan sebuah korban agar ia dikaruniai seorang
anak. Alhasil ketiga permaisurinya melahirkan empat orang putera.”
2.
Ketika Rama dan Lesmana
akan mengikuti sayembara yang diadakan oleh raja Janaka.
“Atas saran Wiswa, kakak beradik tersebut menuju
Mithila, tempat raja Janaka mengadakan sebuah sayembara untuk putrinya yang
bernama Sita.”
3. Ketika
Hanuman diperintah Rama untuk membantunya menemukan Sita.
“Ketika akhirnya pada musim permulaan gugur
awan-awan hujan menghilang pergi, tibalah waktunya untuk berangkat, membebaskan
Sita, tetapi belum ada berita dari Sugriwa. Maka dari itulah lesmana diutus ke
Kiskenda. Sugriwa minta maaf dan pasukan-pasukan kera disiapkan dan disebarkan
ke segala jurusan. Pasukan yang menuju selatan dipimpin oleh Hanuman dengan
didampingi oleh Nila, Anggada dan Jembawan. Mereka sampai dipegunungan Windhya;
dalam keadaan letih sekali mereka menemukan sebuah gua;ketika memasukinya
kelihatan terang dan cemerlang; ternyata disitulah istana Swayamprabha, putrid
raja Danawa.
4. Ketika
Sukasarana diutus Rahwana ke gunung Suwela
“Sukasarana diutus
Rahwana ke gunung Suwela untuk mengintai gerak-gerik musuh. Ia dipergoki dan
dikembalikan ke Lengka; disana ia melaporkan laporan tentang apa saja yang
terjadi dan menasehati Rahwana untuk berdamai tetapi ini justru menimbulkan
amarah sang raja. Datanglah Anggada yang membawa ultimatum yang ditolak.”
b.
motif
pelaksanaan perintah dalam bawang merah bawang putih
Motif
pelaksanaan perintah terdapat ketika bawang putih harus mengikuti perintah
saudara dan ibu tirinya, seperti dalam kutipan berikut ini:
“Bawang
putih juga diperintah mencari ranting-ranting kayu bakar untuk menanak nasi dan
memasak. Namun gadis ini tak pernah mengeluh. Ia jalani hidup ini dengan tabah,
walau kadang ia juga merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Seperti
member makan ayam harus dia yang melakukan, padahal itu pekerjaan mudah dan
bawang merah pasti bisa melakukannya. Ia juga harus menyapu dan menimbun sampah
di belakang rumah. Karena sering bergerak tanpa disadri tubuh bawang putih
semakin sintal, padat dan sehat. Kecantikannya tidaklah berkurang karena
kesibukannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sementara bawang merah
dibiarkan begitu saja. Apabila ada kesalahan sedikit saja ia selalu dimarahi
habis-habisan oleh ibu tirinya. Esok harinya, pagi-pagi bawang putih disuruh
mencari kayu bakar dan air untuk memasak, sementara Bawang Merah pergi ke
sungai sambil membaawa cucian.”
Analisis perbandingan :
Motif
pelaksanaan perintah dalam Ramayana lebih cenderung perintah dari atasan kepada
bawahan sedangkan dalam Bawang merah bawang putih perintah dari ibu kepada sang
anak. Keduanya sama-sama perintah namun jika perintah itu dari atasan yang tak
ada ikatan persaudaraan tentulah berbeda dengan perintah dari ibu walaupun itu
ibu tiri. Tetapi kedua perintah tersebut sama-sama dipatuhi oleh subjek
pelaksanaa perintah tersebut.
3.1.4 Motif Penyamaran
a. Motif Penyamaran dalam cerita Ramayana
Motif
penyamaran dalam cerita Ramayana adalah ketika Hanuman menyamar menjadi
kelinci, seperti dalam kutipan berikut :
“Akhirnya Hanuman sampai di gunung Suwela
menyeberang laut; disana ia menyamar sebagai seorang kelinci untuk
menghindarkan diri dari para raksasa yang lalu lalang disana. Menjelang malam
hari ia mendekati kota Lengka. Menyusullah sebuah deskripsi panjang mengenai
kehidupan para raksasa malam hari. Ada yang mendaras mantra-mantra, melakukan
yoga, ada yang berpesta pora, makan dan minum, berkelahi atau bertanding dengan
para gadis raksasa. Tersisip juga suatu deskripsi terperinci mengenai candi
Siwa di Lengka. Sambil menyamar sebagai seorang raksasa hanuman melacak seluruh
kota dan bahkan memasuki kraton; disana ia melihat rahwana sedang tidu tetapi
Sita tidak ditemukannya. Dalam ujudnya sendiri ia telah sampai pada sebuah
taman pohon-pohon asoka, disebelah timur kota Lengka. Disana rembulna selalu
terlihat bulat sempurna atas perintah Rahwana. Dengan hati-hati Hanuman
memasuki taman itu sambil menyembunyikan diri di pepohonan. Menjelang fajar ia
melihat seorang wanita yang tampak amat bingung dan sedih. Itulah Sita yang
susdah sekian lama dicarinya. Tak lama kemudian Hanuman melihat Rawana dating,
sekali lagi mencoba membujuk Sita, siap memberikan apa saja assal Sita mau
menjadi istrinya. Sita menolaknya dan melukai harga dirinya dengna memuji-muji
keunggulan Rama. Dalam amarahnya Rawana mengancam Sita dengan pisau belatinya;
akhirnya ia mengundurkan diri setelah memberikan perintah kepada raksasi untuk
menakut-nakutinya seta mengganggunya. Tetapi Sita selalu dilindungi oleh
Trijata, putrid Wibisono, seorang adik Rawana; dia menjadi teman dan kawannya
yang terpercaya. Pada kesempatan itu Sita mencurahkan rasa dukanya kepada
Trijata dalam sebuah ratapan panjang dan betapa ia rinu akan kekasihnya.
Hanuman merasa puas setelah menyaksikan bukti kesaktiannya, lalu mendekatinya
dan menyampaikan bukti kesetiannya, lalu mendekatinya dan menyampaikan kabar
tentang Rama; sambil menerangkan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan
menunjukkan sebuah cincin yang dititipkan kepadanya ia berhasil melenyapkan
rasa curiga Sita yang mengira akan terjebak oleh suatu tipu muslihat dari pihak
Rawana. Ia menitipkan sepucuk surat untuk Rama bersama butir manikam. Setelah
menunaikan tugasnya, Hanuman meninggalkan dan mulai menghancurkan pohon-pohon
di taman.”
b. Motif Penyamaran dalam
cerita Bawang merah bawang putih
Dalam cerita ini terdapat motif
penyamaran, seperti ketika sang dewa menyamar menjadi ikan emas yang selalu
membantu bawang putih. Seperti dalam kutipan berikut ini :
“Suatu ketika ia mendapati seekor ikan
menggelepar-gelepar diataas tanah dekat tepian sungai, rupanya ikan itu jatuh
dari jala pencari ikan tanpa diketahui si penjala ikan.
“Kasihan kau ikan!” bisik bawang putih sambil
membungkuk.
Bawang putih memungutnya dan dengan hati-hati ia
memasukkannya ke dalam air sungai. Sang ikan menatapnya dengn pandangan
berterimakasih, kemudian menyelam kedasar sungai. Sesaat kemudian ikan itu
menyembul keluar dan mengeluarkan suara, “Terimakasih Bawang putih, karena
mengasihi sesame makhluk dan telah menolongku maka aku juga akan membantu
kesulitanmu.
“Hai kau bisa bicara ikan?”
“Benar! Sesungguhnya aku adalah ikan jelmaan Dewa”
“Oh…maafkan hamba Dewa..!”
“Tidak mengapa…sekarang masukkan cucianmu kedalam
air.” Pinta ikan aneh itu.
Bawang putih memasukkan pakaian-pakaian kotor itu
kedalam air. Ikan itu menyelam kembali ke dasar sungai. Begitu Bawang Putih
mengangkat pakaiannya seketika pakaian-pakaian itu sudah bersih sekali.
“Terimakasih Pukulun..! Terimakasih..!” kata Bawang
putih berkali-kali.
Semenjak saat itu sang ikan menjadi sahabat Bawang
putih. Bila bawang putih mencuci pakaian di sungai sang ikan muncul ke
permukaan, dan anehnya Bawang Putih mampu menyelesaikan cuciannya yang banyak
itu dslsm tempo cukup singkat tanpa merasa lelah. Kiranya sang ikan jelmaan
Dewa itu telah membantunya secara ghaib”
Analisis Perbandingan:
Penyamaran dalam cerita Ramayana dan
Panji sama-sama penyamaran untuk menolong tokoh utama wanita, yaitu Sita dan
Bawang putih. Dalam cerita Ramayana Hanuman menyamar sebagai seekor kelinci
untuk mengetahu keadaan Sita di negeri Alengka dan menolongnya agar kembali
bersatu dengan Rama. Sedangkan dalam cerita Bawang Merah Bawanng Putih dewata
menyamar sebagai ikan juga untuk menolong sang Bawang putih.
3.1.5
Motif
Peperangan
a. Motif Peperangan dalam
cerita Ramayana
Motif peperangan ini terjadi ketika Rama membantu
Sugriwa menyerang Subali dan ketika Hanuman bertarung melawan psukan dari
Alengka, seperti dalam kutipan berikut :
“Dalam pada
itu Sugriwa sendiri telah berangkat untuk mencari Rama dan tinggal di gunung
Malaya. Dari sana ia berusaha mengutus Hanuman yang menemukan Rama dan Laksmana
di gunung Rsyamuka dan mengantar mereka ke gunung Malaya. Sugriwa ingin
memperoleh kepastian, bahwa Rama cukup kuat untuk mengalahkan kesaktian Bali.
Sekedar untuk membuktikan ini Rama menembus tujuh batang pohon lontar sekaligus
dengan sebatang anak panah. Sekarang mereka berangkat bersama-sama dan sampai
gua Kiskendha, tempat Bali tinggal. Terjadilah perang dahsyat antara kedua raja
kera. Mereka demikian mirip satu sama lain, sehingga Rama yang sudah memasang
anak busurnya untuk melepaskan anak panah, meletakkannya kembali karena tidak
tahu mana yang harus dibidik. Rama dihardik Sugriwa karena tidak tahu mana yang
harus dibidik. Rama dihardik Sugriwa karena tidak mau membantunya seperti telah
dijanjikannya. Setelah Rama menglungkan karangan bunga pada leher Sugriwa
sebagai tanda pengenal, pertempuran diteruskan dan Bali terluka parah oleh panah
Rama. Bali mengecam Rama dengan kata-kata penuh emosi karena kelakuannya yang
tidak pantas bagi seorang raja maupun bagi seorang yang menjalani hipup sebagai
pertapa. Rama menjawab, bahwa ia telah adil menghukumnya karena Bali telah
berzina dengan istri kakaknya sendiri. Bali mengaku salah dan meninggal setelah
menyesali perbuatannya. Ia dimakamkan dengan upacara yang pantas bgi seorang
raja. Semua kera menghormati Sugriwa dan Anggada, putera Bali, menjadi ahli
waris kerajaan. ”
b.
Motif
Peperangan dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih
Motif
peperangan dalam cerita Bawang Merah Bawang putih adalah perang mulut antara
bawang merah dan bawang putih. Seperti dalam kutipan berikut:
“Ngapain bekerja keras.
Biar si Bawang Putih saja yang melakukannya”
Dan
juga perang ketika pangeran dalam perjalanan mencari permaisuri, seperti dalam
kutipan berikut :
“ditengah perjalanan tersebut sang Pangeran bertemu
dengan seorang penjahat namun berhasil ia kalahkan.”
Analisis Perbandingan :
Motif
peperangan dalam kedua cerita tersebut sama yaitu dengan dilator belakangi oleh
usahanya untuk menemukan sang tokoh wanita. Namun dalam cerita bawang merang
baawang putih juga ada perang batin antara bawang merah dan bawang putih,
bawang putih sebenarnya ingin sekali menolak perintah ibu dan saudarnya, namun
karena sifat baiknya ia tak kuasa menolaknya.
3.1.6
Motif
Pengabdian
a. Motif pengabdian dalam
cerita Ramayana
Motif
pengabdian dalam cerita Ramayana adalah ketika si Hanuman bersedia mengabdi
kepada Rama. Seperti dalam kutipan berikut ini :
“Ketika
akhirnya pada musim permulaan gugur awan-awan hujan menghilang pergi, tibalah
waktunya untuk berangkat, membebaskan Sita, tetapi belum ada berita dari
Sugriwa. Maka dari itulah lesmana diutus ke Kiskenda. Sugriwa minta maaf dan pasukan-pasukan
kera disiapkan dan disebarkan ke segala jurusan. Pasukan yang menuju selatan
dipimpin oleh Hanuman dengan didampingi oleh Nila, Anggada dan Jembawan. Mereka
sampai dipegunungan Windhya; dalam keadaan letih sekali mereka menemukan sebuah
gua;ketika memasukinya kelihatan terang dan cemerlang; ternyata disitulah
istana Swayamprabha, putrid raja Danawa.”
b. Motif pengabdian dalam
cerita Bawang merah bawang putih
Motif pengabdian dalam cerita ini yaitu
ketika bawang putih mengabdi kepada ibu tirinya, sepeerti terdapat dalam
kutipan berikut ini:
“Ia jalani hidup ini dengan tabah, walau kadang ia
juga merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Seperti member makan ayam
harus dia yang melakukan, padahal itu pekerjaan mudah dan Bawang Merah pasti
bisa melakukannya. Ia juga harus menyapu dan menimbun sampah di belakang rumah.
Karena sering bergerak tanpa disadri tubuh bawang putih semakin sintal, padat
dan sehat. Kecantikannya tidaklah berkurang karena kesibukannya mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rumah. Sementara bawang merah dibiarkan begitu saja.
Apabila ada kesalahan sedikit saja ia selalu dimarahi habis-habisan oleh ibu
tirinya. Esok harinya, pagi-pagi bawang putih disuruh mencari kayu bakar dan
air untuk memasak, sementara Bawang Merah pergi ke sungai sambil membaawa
cucian.”
Analisis Perbandingan :
Dalam
cerita Ramayana pengabdian dilakukan oleh hanuman kepada Rama yang merupakan
tokoh utama sedangkan dalam bawang merah bawang putih dilakukan oleh tokoh
utama yaiti bawang putih kepada ibunya.
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa
pikiran, pendapat, ataupun tenaga sebagai perrwujudan kesetiaan, cinta, kasih
sayang, hormat, atau satu ikatan dan semua itu dilakukan dengan ikhlas.
Pengabdian bisa disebut juga sebagai rasa tanggung jawab. Dalam hal ini
pengabdian yang dilakukan oleh Hanuman dan bawang putih dipenuhi juga rasa
tanggung jawab yang besar.
3.1.7
Motif
Kesaktian
a.
Motif
Kesaktian dalam cerita Ramayana
Motif
kesaktian adalah ketika Rama mampu mengalahkan Sugriwa, ketika Hanuman mampu
mengalahkan raksasa dan ketika kesaktian panah ular jerat indrajit dikeluarkan.
Seperti dalam kutipan-kutipan berikut :
“Sekedar untuk
membuktikan ini Rama menembus tujuh batang pohon lontar sekaligus dengan
sebatang anak panah. Sekarang mereka berangkat bersama-sama dan sampai gua
Kiskendha, tempat Bali tinggal. Terjadilah perang dahsyat antara kedua raja
kera.”
“Dalam perjalanan lewat
udara hanuman berjumpa dengan seorang raseksi yang menyerang dan menelannya,
tetapi Hanuman menyobek perut si raseksi dan kemudian jatuh ke laut. Oleh
gunung Menaka, sahabat ayah hanuman, sang dewa angin, ia dipersilahkan beristirahat
dipuncaknya tetapi karena terdorong rasa tanggung jawab kepada Rama, ia tak mau
menunda perjalannanya. Seorang raksasi lainya yang bernama Wikataksini, mencoba
menelan hanuman, tetapi usaha ini meyebabkan kematiaannya. Akhirnya Hanuman
sampai di gunung Suwela menyeberang laut; disana ia menyamar sebagai seorang
kelinci untuk menghindarkan diri dari para raksasa yang lalu lalang disana.
Menjelang malam hari ia mendekati kota Lengka. Menyusullah sebuah deskripsi
panjang mengenai kehidupan para raksasa malam hari. Ada yang mendaras
mantra-mantra, melakukan yoga, ada yang berpesta pora, makan dan minum,
berkelahi atau bertanding dengan para gadis raksasa. Tersisip juga suatu
deskripsi terperinci mengenai candi Siwa di Lengka.”
“Dengan melakukan yoga
ia memperoleh kesaktian istimewa sehingga tidak kelihatan, dan sebuah senjata
yaitu “sang panah ular jerat”(nagastrapasa). Demikian ia mengakibatkan kekacauan
dalam barisan para kera.”
b.
Motif
kesaktian dalam cerita bawang merah bawang putih.
Motif kesaktian adalah ketika duri ikan
yang ditanam bawang putih berubah menjadi tanaman bunga yang indah, seperti
dalam kutipan berikut:
“Suatu ketika ia mendapati seekor ikan
menggelepar-gelepar diataas tanah dekat tepian sungai, rupanya ikan itu jatuh
dari jala pencari ikan tanpa diketahui si penjala ikan.
“Kasihan kau ikan!” bisik bawang putih sambil
membungkuk.
Bawang putih memungutnya dan dengan hati-hati ia
memasukkannya ke dalam air sungai. Sang ikan menatapnya dengn pandangan
berterimakasih, kemudian menyelam kedasar sungai. Sesaat kemudian ikan itu
menyembul keluar dan mengeluarkan suara, “Terimakasih Bawang putih, karena
mengasihi sesame makhluk dan telah menolongku maka aku juga akan membantu
kesulitanmu.
“Hai kau bisa bicara ikan?”
“Benar! Sesungguhnya aku adalah ikan jelmaan Dewa”
“Oh…maafkan hamba Dewa..!”
“Tidak mengapa…sekarang masukkan cucianmu kedalam
air.” Pinta ikan aneh itu.
Bawang putih memasukkan pakaian-pakaian kotor itu
kedalam air. Ikan itu menyelam kembali ke dasar sungai. Begitu Bawang Putih
mengangkat pakaiannya seketika pakaian-pakaian itu sudah bersih sekali.
“Terimakasih Pukulun..! Terimakasih..!” kata Bawang
putih berkali-kali.
Semenjak saat itu sang ikan menjadi sahabat Bawang
putih. Bila bawang putih mencuci pakaian di sungai sang ikan muncul ke
permukaan, dan anehnya Bawang Putih mampu menyelesaikan cuciannya yang banyak
itu dslsm tempo cukup singkat tanpa merasa lelah. Kiranya sang ikan jelmaan
Dewa itu telah membantunya secara ghaib”
“Esok harinya
terjadilah keajaiban. Di tempat ikan itu dikubur telah tumbuh tanaman bunga
yang indah. Bawang putih merawat tanaman itu dengan penuh kasih sayang”
Analisis Perbandingan :
Kesaktian dalam kedua cerita tersebut
memiliki latar belakang yang sama yaitu untuk emenolong tokoh utama, dalam
Ramayana untuk menolong Sita sedangkan dalam bawang merah bawng putih untuk
menolong si bawang putih yang kehidupannya menyedihkan dibawah asuhan ibu
tirinya.
3.1.8
Motif
Pengingkaran
a.
Motif
Pengingkaran dalam cerita Ramayana
Motif
Pengingkaran dalam cerita Ramayana adalah ketika Rawana mengingkari janjinya
kepada Sita, seperti dalam kutipan berikut ini :
“Adakah semua ramalan mengenai hari depan Rama itu
dusta belaka? Apa gunanya menepati dharna, begini ganjarannya? Demikianlah para
dewa menentukan nasip seorang insane? Ia memutuskan untuk mengikuti Rama kea
lam maut dan meminta kepada Rawana untuk membunuhnya. Dengan rasa marah dan malu raja itu mengundurkan
diri. Sita dan Trijata mempersiapkan diri untuk mati diatas api unggun, tetapi
Trijata setelah merasakan kedipan pada kelopak matanya yang kiri (suatu
pertanda yang membawanya keberuntungan), memutuskan untuk menemui Wibhisana.”
b.
Motif
Pengingkaran dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih
Motif
Pengingkaran adalah ketika Bawang Merah dan ibunya mengibuli Bawang putih bahwa
mereka berpura-pura baik hati dengan member makan kepada bawang putih. Seperti
dalam kutipan berikut :
“Ketika
Bawang putih pulang sehabis mencari kayu bakar, mereka berpura-pura berbaik
hati. Mereka sediakan nasi diatas meja, lalu bawang putih dipersilahkan makan.”
Analisis
Perbandingan :
Pengingkaran
dalam dua cerita tersebut berbeda, dalm Ramayana Rawana berbuat ingkar karena
ingin mendapatkan Sita sedangkan dalam Bawang Merah bawang putih ibu tiri dan
bawang merah berbuat ingkar karena rasa iri kepada baawang putih
3.1.9
Motif
kebencian
a.
Motif
Kebencian dalam cerita Ramayana
Motif Kebencian dalam cerita Ramayana
adalah kebencian Sita kepada Rawana yang telah menculiknya, seperti dalam
kutipan berikut ini :
“Adakah semua ramalan mengenai hari depan Rama itu
dusta belaka? Apa gunanya menepati dharna, begini ganjarannya? Demikianlah para
dewa menentukan nasip seorang insane? Ia memutuskan untuk mengikuti Rama kea
lam maut dan meminta kepada Rawana untuk membunuhnya. Dengan rasa marah dan malu raja itu mengundurkan
diri. Sita dan Trijata mempersiapkan diri untuk mati diatas api unggun, tetapi
Trijata setelah merasakan kedipan pada kelopak matanya yang kiri (suatu
pertanda yang membawanya keberuntungan), memutuskan untuk menemui Wibhisana.”
b.
Motif
Kebencian dalam cerita Bawang merah bawang putih
Motif
kebencian ditunjukkan oleh ibu tiri dan Bawang merah kepada bawang putih.
Seperti dalam kutipan berikut:
“Bawang
putih selalu dibebani pekerjaan yang berat-berat, misalnya mengambil air dari
sumber yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ia jalani hidup ini dengan tabah,
walau kadang ia juga merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Seperti
member makan ayam harus dia yang melakukan, padahal itu pekerjaan mudah dan
Bawang Merah pasti bisa melakukannya. Ia juga harus menyapu dan menimbun sampah
di belakang rumah. Karena sering bergerak tanpa disadri tubuh bawang putih
semakin sintal, padat dan sehat. Kecantikannya tidaklah berkurang karena
kesibukannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sementara bawang merah
dibiarkan begitu saja. Apabila ada kesalahan sedikit saja ia selalu dimarahi
habis-habisan oleh ibu tirinya. Esok harinya, pagi-pagi bawang putih disuruh
mencari kayu bakar dan air untuk memasak, sementara Bawang Merah pergi ke
sungai sambil membaawa cucian.”
Analisis Perbandingan:
Motif
kebencian dalam kedua cerita tersebut sangatlah berbeda, dalm cerita
Ramayana kebencian itu didasarkan pada rasa sengit Sita kepada Rawana yang
telah berbuat jahat sedangkan pada Bawang merah bawang putih kebencian itu
didasarkan pada rasa iri dari Bawang Merah dan ibunya kepada Bawang putih.
3.1.10
Motif
Bertapa
a.
Motif
Bertapa dalam cerita Ramayana
Adalah ketika Rama, Leksmana dan Sita
memutuskan untuk bertapa setibanya di dhadaka, seperti dalam kutipan berikut
ini :
“Rama,
Sita dan Laksmana meneruskan pengembaraan mereka dan tiba di hutan Dandaka,
tempat mereka membunuh seorang raksasa yang bernama Wiradha, yang menyerang
mereka; sesudah itu mereka menetap di pertapaan Sutiksna dan menjalani
kehidupan sebagai pertapa. Senjatanya hanya mereka bawa untuk melindungi
pertapa-pertapa lainnya”
Analisis
:
Motif
bertapa tidak ada dalam cerita Bawang merah bawang putih, motif ini hanya ada
dalam cerita Ramayana. Dalm cerita bawang merah bawang putih hanya terjadi
pengembaraan namun dalam pengembaraan tersebut tidak bertapa, sedangkan dalam
cerita Ramayana terjadi pengembaraan juga terjadi tapa.
3.2
Penokohan
3.2.1 Penokohan Dalam
cerita Ramayana
Berikut
adalah daftar tokoh dalam cerita Ramayana
No
|
Tokoh
|
Keterangan
|
Kategori
|
1
|
Rama
|
Anak Raja Dasaratha + Kausalya
|
Protagonis
|
2
|
Sita
|
Putri Raja Janaka
|
Protagonis
|
3
|
Laksmana
|
Adik Rama beda ibu
|
Protagonis
|
4
|
Raja Dasaratha
|
Ayah Rama
|
Protagonis
|
5
|
Kausalya
|
Istri Raja Dasaratha, ibu Rama
|
Protagonis
|
6
|
Kaikeyi
|
Istri Raja Dasaratha, ibu
Bharata
|
Protagonis
|
7
|
Bharata
|
Anak Raja Dasaratha +Kaikeyi
|
Protagonis
|
8
|
Sumitra
|
Istri Raja Dasaratha, ibu
Laksmana dan Satrugna
|
Protagonis
|
9
|
Laksmana
|
anak Raja Dasaratha + Sumitra
|
Protagonis
|
10
|
Satrughna
|
anak Raja Dasaratha + Sumitra
|
Protagonis
|
11
|
Rsi Wiswamitra
|
Yang memohon bantuan Rama untuk
mengalahkan Raksasa
|
Protagonis
|
12
|
Marica
|
Raksasa yang menyerang Rama
|
Antagonis
|
13
|
Wiswamitra
|
Yang menyarankan Rama dan
Laksmana ke Mithila
|
Protagonis
|
14
|
Raja Janaka
|
Raja di Mithila, ayah Sita
|
Protagonis
|
15
|
Rama Bargawa
|
Seorang pertapa yang suka
berperang
|
Antagonis
|
16
|
Surpanakha
|
Adik Rawana
|
Antagonis
|
17
|
Trisirah
|
Teman Surpanakha
|
Antagonis
|
18
|
Khana
|
Teman Surpanakha
|
Antagonis
|
19
|
Dursana
|
Teman Surpanakha
|
Antagonis
|
20
|
Rawana
|
Yang menculik Sita
|
Antagonis
|
21
|
Jatayu
|
Sahabat Raja Dasaratha
|
Protagonis
|
22
|
Dirghabahu
|
Raksasa yang terkena kutukan
|
Protagonis
|
23
|
Sibari
|
Teman Dirghabahu
|
Protagonis
|
24
|
Sugriwa
|
Raja Para Kera, yang membantu
Rama
|
Protagonis
|
25
|
Tara
|
Istri Sugriwa
|
Protagonis
|
26
|
Hanuman
|
Kera utusan Sugriwa untuk
membantu Rama
|
Protagonis
|
27
|
Subali
|
Saudara kembar Sugriwa
|
Protagonis
|
28
|
Anggada
|
Anak Subali
|
Protagonis
|
29
|
Dewa Kama
|
Yang mengingatkan Rama
|
Protagonis
|
30
|
Nila
|
Yang menemani Hanuman mencari
Sita
|
Protagonis
|
31
|
Jambawan
|
Yang menemani Hanuman mencari
Sita
|
Protagonis
|
32
|
Swayampraba
|
Yang mempunyai istana di gua
|
Protagonis
|
33
|
Sampati
|
Adik Jatayu
|
Protagonis
|
34
|
Wikataksini
|
Yang menyerang Hanuman
|
Protagonis
|
35
|
Trijata
|
Putri Wibhisana, sahabat Sita
|
Protagonis
|
36
|
Wibhisana
|
Saudara Rawana yang baik
|
Protagonis
|
37
|
Meghanada
|
Anak Rawana
|
Antagonis
|
38
|
Siwa
|
Tuhan dalam agama hindu
|
Protagonis
|
39
|
Prahasta
|
Patih Rawana
|
Antagonis
|
40
|
Kumbhakarna
|
Saudara Rawana
|
Antagonis
|
41
|
Dhumraksa
|
Raksasa jahat
|
Antagonis
|
42
|
Akampana
|
Raksasa jahat
|
Antagonis
|
a.
Rama
Rama merupakan putra Raja Ayodya yang
menikahi Sita karena memenangkan sebuah sayembara. Setelah menikah ia diwarisi
tahta oleh sang ayah, namun karena suatu janji tahta itu diserahkan kepada
saudara tuanya Bharata. Kemudian ia mengembara ke hutan bersama Sita dan
Laksmana, adiknya.
b.
Sita
Sita
merupakan putri Raja Janaka, ia kemudian diperistri oleh Rama karena
memenangkan sayembara. Kemudian mereka mengembara di hutan dan Sita
menginginkan kijang emas yang dilihatnya dihutan. Namun ternyata kijang itu
adalah inisiatif licik Rahwana. Sita adalah seorang istri yang sangat setia.
c.
Leksmana
Leksmana
adalah adik Rama yang berbeda ibu, ia
dengan setia mengikuti pengembaraan Rama, kakaknya dan Sita. Leksmana disukai
oleh adik Rahwana Surpanakha yang menyamar menjadi wanita cantik namun ia tidak
menyukainya dan kemudian memotong hidung Surpanakaha. Surpanakha kemudian sakit
hati dan mengadukan kejadian itu kepada Rahwana.
d.
Rawana
Rawana adalah seorang raksasa yang
menjadi raja di Alengka. Adiknya Surpanakha tertarik dengan Laksmana namun
Laksmana tidak tertarik dengan dirinya dan memotong hidungnya. Ia merasa sakit
hati dengan Rama dan Laksmana kemudian ia melaporkan kejadian itu kepada sang
kakak Rawana. Dan ia juga mengabarkan kecantikan Sita. Rawana kemudian mengutus
Marica untuk menemui Rama dan menyamar sebagai kijang emas.
e.
Hanuman
Hanuman
adalah seekor kera dan anak buah dari Sugriwa. Ialah yang diutus oleh Sugriwa
untuk membantu Rama dalam pencariannnya. Dalam cerita ini dilukiskan Hanuman
adalah seorang pertapa di gunung Rsyamuka.
f.
Sugriwa
Sugriwa adalah saudara kembar Subali,
Subali merebut istri Sugriwa ketika yang bernama Tara, Sugriwa adalah raja para
kera temasuk Hanuman. Ia yang membantu Rama membebaskana Sita.
g. Raja
Dasaratha
Raja
kerajaan Ayodya mempunyai 3 orang istri yaitu: Kausalya, Kaikeyi, dan
Sumitra, dan mempunyai 4 orang anak yaitu: Bharata, Rama, Laksmana dan
Satrughna.
h.
Kausalya
Istri Raja Dasaratha,
ibu Rama
i.
Kaikeyi
Istri Raja Dasaratha,
ibu Bharata
j.
Bharata
Adik Rahwana beda ibu yang diwarisi tahta oleh sang ayah
k.
Rsi Wiswamitra
Yang memohon bantuan
Rama untuk mengalahkan Raksasa
l.
Sumitra
Istri Raja Dasaratha,
ibu Laksmana dan Satrugna
m.
Satrughna
Anak Dasaratha dan Sumitra
n.
Marica
Raksasa yang menyerang Rama dan
Leksmana dan menyamar sebagai kijang emas.
o.
Raja Janaka
Raja Di Mithila dan merupakan Ayah dari Sita.
p.
Rama Bargawa
Raksasa yang menyerang Rama dan ingin mengalahkan Rama.
q.
Jatayu
Sahabat dekat Raja Dasaratha
dan yang menyampaikan kepada Rama bahwa Sita ada ditangan Rawana.
3.2.2
Penokohan dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih
Tokoh dalam
cerita Bawang Merah Bawang Putih
No
|
Nama Tokoh
|
Keterangan
|
Kategori
|
1.
|
Bawang Putih
|
Saudara tiri Bawang merah
|
Protagonis
|
2.
|
Bawang Merah
|
Saudara tiri Bawang putih
|
Antagonis
|
3.
|
Ibu Tiri
|
Ibu kandung Bawang Merah
|
Antagonis
|
4.
|
Ayah
|
Ayah kandung bawang putih
yang sudah meninggal
|
Protagonis
|
5.
|
Ikan ajaib
|
Dewa yang menyamar sebagai
ikan ajaib
|
Protagonis
|
6.
|
Pangeran
|
Pangeran yang memperistri
bawang putih
|
Protagonis
|
7.
|
Prajurit
|
Prajurit pangeran
|
Protgonis
|
8.
|
Penjahat
|
Penjahat yang menghadang pangeran dalam perjalanannya menemui bawang
putih
|
Antagonis
|
.
a.
Bawang Putih
Bawang
putih adalah tokoh utama dimana dia bersifat baik dan tidak ada kejelekannya.
b.
Bawang Merah
Bawang
Merah adalah tokoh antagonis dimana ia selalu saja iri dengan apa yang diperoleh bawang putih.
c.
Ibu Tiri
Ibu
tiri bawang putih ini selalu berada di pihak bawang merah, mereka bersekongkol
untuk menindas Bawang putih.
d.
Pangeran
Setelah
mengembara akhirnya sang pangeran ini memiliki permaisuri seperti yang
diinginkannya.
e.
Ikan ajaib
Ikan
ini adalah jelmaan dewa yang diciptakan untuk selalu menolong bawang putih.
Analisis Perbandingan
penokohan :
Dilihat dari jumlah tokohnya saja jelas
sudah kelihatan berbeda, Ramayana lebih banyak memiliki tokoh dan ceritanya
lebih runtut serta detail. Persamaannya adalah keduanya sama-sama mempunyai
tokoh wanita yang pada endingnya akan bertemu dengan sang pangeran.
3.3 Judul
3.3.1 Ramayana
Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa
yang berarti "Perjalanan Rama".
3.3.2 Bawang Merah Bawang
Putih
Bawang merah dan bawang putih adalah
nama sebuah bumbu masakan.
Analisis Perbandingan :
Kedua crita ini
memiliki judul dengan nama tokoh utama, dilihat secar semantis Ramayana adalah
perjalanan Rama sedangkan Bawang merah bawang putih adalah sebuah nama bumbu
masakan dijawa. Menurut saya mengapa judul cerita ini Bawang Merah Bawang
putih? Adalah karena tak lain bumbu bawang merah dan bawang putih adalah bumbu
khas Jawa sedangkan isi ceritanya adalah hampir sama dengan Ramayana yaitu
berakhir dengan bahagia, seperti dongeng jawa pada umumnya. Ini disebabkan
karena masyarakat Jawa lebih cenderung menyukai cerita yang berakhir
kebahagiaan.
3.4 Ending Cerita
3.4.1 Ending Cerita Ramayana
“Setibanya di Ayodhya Bharata dan ibu Rama tampil
menymbut mereka. Dengan upacara resmi mereka disambut, sedangkan rakyat riang
gembira. Diadakan pesta meriah sekedar untuk merayakan kembalinya mereka dan
terkumpulnya dengan sanak saudara. Rama dan Sita menyerahkan diri kepada
kenikmatan bersma yang kini ditemukan kembali. Setelah sepuluh hari berlangsung
para tamu mohon diri. Dengan terharu Sita mengucapkan rasa terimakasihnya
kepada Trijata. Mereka semua pulang, ke rumah masing-masing.”
3.4.2 Ending Cerita Bawang Merah Bawang putih
“Sementara Pangeran mendekati Bawang putih dan
memegang tangannya sambil berkata,” Diajeng Bawang Putih bersediakah engkau
menjadi istriku?” , bawang Bawang Putih mengangguk pelan. Wajahnya tertunduk
malu. Demikianlah bawang putih yang baik hati dan senantiasa bersabar atas
derita itu akhirnya diboyong ke istana untuk dijadikan istri Pangeran. Mereka
hidup bahagia hingga akhir hayatnya.”
Analisis Perbandingan :
Kedua
cerita sama-sama mempunyai ending cerita bahagia. Ini mungkin dikarenakan
masyarakat Jawa yang tidak suka dengan cerita sedih.