Selasa, 26 Juni 2012

Percakapan di Warung Pecel



Sebenarnya jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, namun dua lelaki parlente itu masih saja asyik membicarakan sesuatu. Sebuah warung pecel yang jauh dari kesan sempurna itu ternyata masih mampu membius orang-orang seperti mereka untuk berlama-lama disitu. Entah apa yang mereka bicarakan sehingga melahap pecel sepiring saja butuh waktu satu jam lebih.
Sebenarnya aku tak ingin menguping, namun telinga ini sudah terlanjur mendengarkan apa yang mereka bicarakan, jadi ku rasa ini bukanlah suatu dosa terbesar. Selama hampir sepuluh tahun berjualan pecel disamping jembatan besi, baru kali ini ibuku kedatangan pelanggan yang berdasi. Pecel buatan ibuku memang sudah dikenal enak, namun enak dikalangan ekonomi kebawah yang hanya mampu mengeluarkan selembar lima ribuan untuk nasi pecel dan segelas es teh bukan enak dikalangan mereka orang-orang Senayan.
“Apa kita tidak terlalu jauh, bang?” kata lelaki berbaju merah marun itu.
“Terlalu jauh gimana?” yang baju putih lily berdasi biru menjawabnya.
“Kita sudah melibatkan terlalu banyak orang bang, aku takut kalau keluargaku ikut terseret”
“Ah kamu, jangan jadi penakut begitu! Kita butuh uang, uang!”
“Iya bang, aku tau. Dengan cara apapun akan kulakukan asalkan dapat uang, namun untuk yang ini kurasa terlalu banyak yang terlibat bang”
“Kamu sudah berapa kali terlibat kasus seperti ini?? Jangan begitulah..”
“Berkali-kali lah bang, abang tau sendiri kan? Tapi…”
Lelaki itu mengaduk-aduk pecelnya yang kulihat sudah sangat lumat.
“Optimis saja, ini bakal sukses seperti yang sebelum-sebelumnya”
Lelaki berbaju merah itu diam dan kembali mengaduk-aduk pecel pesanannya, yang kurasa tak dirasakan kenikmatannya.  Mereka kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang sangat berat.
“Bagaimana kalau kita bunuh saja Mr.X, bang? Dia kan saksi kuci atas semua kasus ini.” Kata sibaju merah yang sudah menampakkan keberaniaanya.
“Serius kau,??sebenarnya aku juga berpikiran seperti itu sejak tadi
“Seriuslah bang, dia terlalu membahayakan untuk dibiarkan berkeliaran di dunia ini”
“Ok, bagus juga idemu. Caranya bagaimana?”
Lelaki berbaju merah itu membisikkan sesuatu kepada si baju putih sambil tangannya seperti memperagakan apa yang sedang dibacarakan.
“Cemerlang juga otakmu, okelah kita sikat orang-orang busuk seperti mereka”
Orang itu kembali makan seperti pelanggan lain, seolah tak ada hal serius yang telah mereka perbincangkan. Namun kelihatan bahwa mereka seperti orang yang sedang gelisah, pecel yang mereka pesan hanya diaduk-aduk tak jelas.
Sejak saat itu mereka sering bertandang ke warung pecel ibuku, dan setiap mereka datang selalu saja terbersit olehku untuk mendengarkan semua yang mereka perbincangkan. Dan entah suatu kebetulan atau bagaimana setiap mereka datang warung tak begitu rame jadi aku bisa leluasa mendengarkan mereka.
Bangku pojok adalah bangku favorit mereka, memang tempat itu sangat strategis untuk membahas hal yang tidak perlu diketahui orang lain. Namun dari posisi itulah aku semakin bisa leluasa mendengarkan mereka dari gerobak yang hanya bersekat jendela tanpa kaca.
“Gimana, kau sudah menyelidiki Mr.X?
“Sudah bang, namun agak sulit untuk menghabisinya, kita butuh kecermatan lebih”
“Ya, seperti yang sudah kubilang dia memang agak sulit, pelan-pelan saja Min, kita yang bakal mendapat semua uang itu. hahaha!”
Lelaki yang dipanggil Min itu diam sambil menghisap cerutunya.
“Begitulah.. Ku harap minggu depan dia sudah lenyap ha..ha..”
Dari cuplikan-cuplikan yang kudengar dapat kusimpulkan bahwa mereka bukanlah orang bersih dikancah politik. Hal itu yang membuat rasa penasaran sekaligus ketakutan jika terlibat dalam kasus itu. Kedua orang itu nampaknya sudah mulai curiga denganku, pasalnya aku selalu mengendap-endap di dekat gerobak saat mereka memperbincangkan hal itu.
Otak yang telah dikaruniakanNya ternyata tak sia-sia berpasangan dengan kepalaku, otak yang biasa aku gunakan untuk merayu gadis-gadis, kini ku gunakan untuk memikirkan sesuatu yang sedikit lebih berbobot. Karena penasaran dan tak ingin terlibat lebih jauh dengan kasus mereka kugunakan satu-satunya handphone bututku untuk merekam percakapan mereka, kupasang HP dibawah meja mereka biasa berbincang sesaat sebelum mereka datang. Dan alhasil berhasil juga pekerjaan perdanaku, walaupun suaranya kurang jelas namun masih bisa didengar.
“Nanti malem jam setengah sebelas bang, dia pulang kantor sendirian. Asistennya sedang pulang kampung. Kurasa ini saat yang tepat untuk kita menghabisinya”.
“Ya, bagus! Aku sudah menyewa beberapa preman untuk menghabisinya”
“Wah kerja yang bagus, bisa tenang hidup kita kalu dia sudah tewas. Hahaha!”
“Betul sekali, bisa hidup enak kita.”
Tiga hari mereka tak menyambangi warung ibuku, banyak yang kupikirkan tentang mereka. Jangan-jangan mereka sudah tertangkap polisi atau mereka malah yang menjadi korban pembunuhan atau mereka telah pindah ke Hongkong, Singapura atau malah sudah terbang ke negeri Paman Sam seperti berita-berita di TV.
Tak seperti biasanya Min dan temannya datang satu jam lebih awal setelah tiga hari tak makan pecel ibuku. Mereka kelihatan sangat gelisah dan banyak pikiran.
“Gawat, kita sudah tercium oleh polisi!”
“Ya, harus segera meninggalkan negeri ini. Aku tak mau tidur di bui sekalipun dengan fasilitas lengkap bang!”
“Jangan terlalu cepat mengambil keputusan, kita harus hati-hati Min”
Setelah hari itu mereka tak pernah lagi muncul di warungku, namun justru mereka lebih sering berada di layar televisi sebagai buronan dalam kasus pembunuhan dan korupsi. Tim KPK sedang menyelidiki kasus dua lelaki yang sering makan diwarungku. Aku sebagai orang yang mungkin satu-satunya yang mempunyai bukti kunci  semakin deg-degan dengan pemberitaan itu.
***
Teguh Tri Wiguna, akhirnya nama dan wajahku muncul di televisi sebagai saksi dalam kasus besar itu. Aku menjadi public figure dadakan yang selalu dikejar para pemburu berita. Seorang pemuda dari kalangan biasa saja yang mampu memasukkan dua penjahat negara ke dalam bui.