Analisis Geguritan karya J.F.X.Hoery
Mata Kuliah : Pengkajian Puisi Jawa Tradisional
Dosen Pengampu : Yusro Edy Nugroho
Disusun Oleh :
Asih Setyarini (2601409073)
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
PENDAHULUAN
J.F.X.Hoery adalah seorang penulis Indonesia yang lahir di Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 7 Agustus 1945.. Sejak tahun 1962 beliau pindah ke Bojonegoro dan menetap disana hingga sekarang. Karya-karyanya berupa ceritera pendek, cerita sambung, cerita rakyat, cerita misteri, roman sejarah, reportase dan geguritan banyak dimuat di majalah-majalah berbahasa Jawa yang terbit dari tahun 1971 hingga sekarang. Tulisan pertama beliau yang dimuat di majalah dimuat tahun 1960 dalam majalah Taman Putra Panyebar Semangat.
Dalam jagat jurnalistik, terutama bahasa Jawa, nama J.F.X. Hoery sudah tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai seorang sastrawan Jawa yang kini mulai langka. Banyak hasil karangannya telah diterbitkan dalam bentuk buku, antara lain Lintang-lintang Abyor, Langit Jakarta, dan buku cerita anak dengan judul Permaisuri yang Cerdik dan Sosiawan-sosiawan Kecil.
Sebagian besar karya Hoery ditulis dalam bahasa Jawa, baik berupa geguritan (puisi) atau kumpulan cerita cekak (cerita pendek), yang dimuat di sejumlah media seperti Penjebar Semangat, Joyo Boyo, Joko Lodang, Dharma Nyata, Dharma Kanda, Parikesit, Pustaka Candra, Praba, Damar Jati, dan harian Suara Merdeka di Semarang.
Boleh dibilang, di antara sejumlah nama besar sastrawan Jawa di Jawa Timur, Hoery termasuk salah satu sastrawan yang produktif. Hingga 2006, Hoery sudah menghasilkan sekitar 100 cerita cekak dan sekitar 350 geguritan. Bahkan, pada 2004, buku Pagelaran, kumpulan geguritan Hoery, juga mendapatkan hadiah Rancage, penghargaan paling bergengsi untuk sastra daerah.
Berkat upaya menguri-uri (merawat) sastra Jawa ini, Hoery kerap menjadi narasumber penelitian dari para mahasiswa dan dosen dari sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Semarang dan Universitas Negeri Surabaya. Bahkan, salah seorang peneliti dari Universitas Canberra, Australia, George Quinn, juga pernah meneliti karya Hoery.
Proses kreatif Hoery sebagai sastrawan diawali pada 1960, saat tulisannya (cerita anak) di rubrik Taman Putra di majalah Penjebar Semangat. Kegiatan menulis ini tak lepas dari lingkungan masa kecilnya yang kental dengan tradisi Jawa seperti kegiatan macapat (menyanyi Jawa). Dari pergaulannya dengan tradisi ini, pada l969 hingga kini Hoery terus mengembangkan kemampuannya dalam menulis geguritan dan cerita pendek.Karya-karyanya adalah sebagai berikut :
• Pagelaran, kumpulan geguritan.
• Lintang Abyor, antologi.
• Kabar saka Tlatah Jati, antologi.
• Banjire Wis Surut, kumpulan cerita pendek.
• Blangkon, kumpulan cerita pendek bersama penulis Bojonegoro
• Bojonegoro Ing Gurit, kumpulan geguritan bersama penggurit Bojonegoro.
• Sosiawan-Sosiawan Kecil, kumpulan crita anak-anak.
• Permaisuri Yang Cerdik, crita anak-anak
• Sejarah Gereja Cepu (buku), bersama tim penulis sejarah gereja Cepu.
• Sejarah Gereja Katolik Rembang (buku)
• Sejarah Gereja Katolik Blora (buku)
• Sejarah Gereja Katolik Bojonegoro (buku)
• Sejarah Gereja Katolik Tuban (buku)
LANDASAN TEORI
1. Teori Kaji Makna (Parafrase)
Teori ini hampir sama dengan memparafrasekan puisi. Sebelum kita berani dengan lantang untuk membacakan geguritan, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna yang terdapat dalam geguritan itu, baik makna kata perkata atau makna secara keseluruhan yang menjadi isis hati atau tujuan pengarang menulis geguritan. Dalam teori kaji makna ini kita harus mengetahui secara pasti makna kata-kata yang ada dalam geguritan tersebut, terlebih kata-kata yang kedengarannya asing dan jarang dipakai oleh masyarakat umum.
Tak jarang pula kata-kata yang tertera mengandung suatu maksud tertentu yang berlainan dengan makna yang lazim, atau dengan kata lain bermakna konotasi. Sehingga kita juga harus bisa menelisik maksud yang sesungguhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengartikan kata-kata sukar lalu mencari makna secara global dari paduan kata-kata yang tertera pada tiap bait. Lalu memadukan makna di tiap-tiap bait menjadi satu kesatuan makna yang utuh. Setelah kita memahami makna yang terkandung dalam geguritan tersebut maka bisa dipastikan kita akan bisa mengapresiasi dan membacakannya dengan baik dan benar, selain itu tak kalah penting juga kita bisa membuat audiens mengerti dan bisa menggambarkan jan-jane apa to maksude geguritan kuwi.
2. Teori imajinasi/ imajinatif/ membayangkan
Yang dimaksud adalah kita membayangkan kata-kata atau tembung-tembung yang terdapat dalam bait-bait geguritan tersebut menjadi suatu suasana dengan setting tempat dan waktu yang tepat. Dengan cara ini kita akan lebih bisa merasakan isi geguritan itu dan lebih bisa membawa audiens untuk masuk dalam suasana yang kita bayangkan. Teori ini dilakukan setelah kita menguasai teori yang pertama.
3. Teori penjedaan
Teori penjedaan bermakna pula teori pemberian jeda. Ada beberapa kata dalam geguritan yang memang harus mendapat perhatian khusus karena sifat keambiguannya. Salah satu solusinya adalah dengan pemberian jeda / pedhotan yang tepat agar tidak terjadi ambiguisitas/ kerancuan/ salah tafsir dan bahkan kesalahan dalam pemberian makna.
4. Teori penelisikan simbol kata
Simbol kata adalah suatu kata yang menggambarkan atau menyimbolkan sesuatu, jadi kata ini tidak bermakna yang sebenarnya karena memang sengaja dipilih oleh penyair untuk menggambarkan maksud tertentu. Maksud ini adalah maksud terselubung dan harus dipahami secara lebih mendalam.
5. Teori tanda bunyi
Untuk memperoleh pengapreasian yang maksimal dari suatu geguritan, dapat dilakukan dengan mencermati setiap tangda bunyi yang ada dalam tiap baris geguritan. Karena tanda tersebut menyimpan makna tertentu.
6. Pengkajian Model Semiotik Puisi
a. Analisis Aspek Sintaksis
Teori Semiotika
Semiotika adalah ilmu tentang tanda, cara kerjanya, penggunaannya, dan apa yang kita lakukan dengannya ( Zaimar, 1990; Zoest, 1993 ). Menurut Zaimar (1991), analisis semiotik terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis. Dalam puisi analisis aspek sintaksis dapat berupa analisis satuan linguistik. Adapun yang dijadikan pedoman analisis dalam tulisan ini adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman EYD. Langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik. Analisis aspek semantik dalam puisi dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi
b. Analisis aspek semantik
Dalam menganalisis aspek semantik, pertama-tama akan dilakukan analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Kemudian, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi untuk sampai pada penemuan motif sehingga dengan demikian, tema puisi kemungkinkan besar dapat ditemukan.
c. Analisis aspek pragmatik
Dalam puisi itu terdapat dua pronomina persona, yaitu aku dan kau. Pronomina persona itu dapat memberikan petunjuk kepada kita bahwa dalam puisi itu terdapat dua subjek komunikasi.
7. Rima
Rima adalah perulangan bunyi yang sama dalam puisi yang berguna untuk menambah keindahan suatu puisi.
• Macam-macam Rima
a. Rima berdasarkan bunyi
1. Rima Sempurna
Seluruh suku akhirnya berirama sama.
2. Rima Tak Sempurna
Hanya sebagian suku akhir yang sama.
3. Rima Mutlak
Seluruh kata berima.
Kata jua yang diulang dua kali pada tempat yang sama itu berima mutlak.
4. Rima Terbuka
Yang berima adalah suku akhir suku terbuka dengan vokal yang sama.
5. Rima Tertutup
Yang berima itu suku akhir suku tertutup dengan vokal yang diikuti konsonan yang sama.
6. Rima Aliterasi
Yang berima adalah bunyi-bunyi awal pada tiap-tiap kata yang sebaris, maupun pada baris-baris berlainan.
7. Rima Asonansi
Yang berima adalah vokal-vokal yang menjadi rangka kata-kata, baik pada satu baris maupun pada baris-baris berlainan.
8. Rima Disonansi
Rima ini adalah vokal-vokal yang menjadi rangka kata-kata seperti pada asonansi tetapi memberikan kesan bunyi-bunyi yang berlawanan.
b. Rima berdasarkan letak kata-kata dalam baris
1. Rima Awal
Apabila kata-kata yang berima terdapat pada awal-awal kata.
2. Rima Tengah
Apabila kata-kata yang berima terletak di tengah.
3. Rima Akhir
Apabila kata-kata yang berima terletak pada akhir. Bentuk ini banyak digunakan dalam bentuk Pantun, Syair dan Gurindam.
4. Rima Tegak
Apabila kata-kata yang berima terdapat pada baris-baris yang berlainan.
5. Rima Datar
Apabila rima kata-kata yang berima itu terdapat pada baris yang sama.
6. Rima Sejajar
Apabila sepatah kata dipakai berulang-ulang dalam kalimat yang beruntun.
7. Rima Berpeluk (Rima Berpaut)
Apabila umpamanya baris pertama berima dengan baris keempat, baris kedua berima dengan baris ketiga. Rima ini terletak pada bentuk Soneta dengan rima a – b – b – a.
8. Rima Bersilang (Rima Salib)
Rima yang letaknya berselang-selang. Misalnya baris pertama berima dengan baris ketiga, dan baris kedua berima dengan baris keempat. Rima ini dapat kita jumpai dalam bentuk Pantun yang berrumus a – b – a – b.
9. Rima Rangkai
Apabila kata-kata yang berima terdapat pada kalimat-kalimat yang beruntun. Bentuk ini dapat kita jumpai dalam bentuk syair dengan rumusnya a – a – a – a ; b – b – b –b.
10. Rima Kembar
Apabila kalimat yang beruntun dua-dua berima sama. Misalnya dengan abjad a – a – b – b atau c – c – d – d – e – e dan seterusnya.
11. Rima Patah
Apabila dalam bait-bait puisi ada kata yang tidak berima sedangkan kata-kata lain pada tempat yang sama di baris-baris lain memilikinya. Rumus rima patah adalah a – a – b – a atau b – c – b – b.
12. Rima Merdeka
Tidak ada yang bersajak.
HASIL PENELITIAN
Geguritan 1
ING MBURINE MEJA REDAKSI
Ing mburine meja redaksi
Kursi jengki ngadep laci
Tok,...thok,...thok....
Swara lawang kathothok
Permisi pak redaktur
Iki pawarta korupsi lan wong antri
Apa bisa lolos koreksi?
Ing mburine meja redaksi
Kranjang sampah mblasah naskah
Tik-tik-tik-tik....
Swara mesin ketik
Hallo redaksi
Iki piagam lan medhali
Marga koranmu nglegakake ati
Ing mburine meja redaksi
Apa isih lagi mawas dhiri
Apa sesuk isih perlu ngrakit gurit
Apa trima banjur sowang-sowang
Sawise ketemu kadang lan rowang
Becik mbukak lemari lan arsip
Banjur pamit sakdurunge ana kemit
Losarang-Indramayu,1978
Jayabaya, 1968
Pokok pikiran geguritan ini adalah penggambaran suasana di sebuah redaktur. Pokok pikiran tersebut dijalin dalam untaian-untaian berikut ini.
Si pengarang menggambarkan ruang redaksi yang ada meja dan kursinya, kemudian ada wartawan datang membawa berita tentang korupsi dan bertanya apakah berita tersebut bisa lolos dan diterbitkan.(bait 1)
Si pengarang kembali menggambarkan ruang redaksi yang identik dengan sampah-sampah kertas dan swara mesin ketik. Dan kembali datang orang yang memberikan penghargaan kepada korannya karena memberitakan kabar yang baik dalam artian berita yang dibawa wartawan(bait 1) tidak diterbitkan oleh koran tersebut. (bait 2).
Sipengarang menggambarkan orang yang ada di belakang meja redaksi yang santai-santai saja karena korannya sudah mendapatkan penghargaan, dan alangkah lebik baiknya jika membuka kembali arsip-arsip dan kembali bekerja.
Dalam geguritan ini mengkritik para jurnalis(jaman dulu) yang masih belum berani memberitakan berita-berita tentang korupsi dan kebobrokan negara.
Secara semiotik , dalam geguritan ini benar-benar menggunakan pilihan kata yang bagus dan memberikan efek suasana, seperti pada “kranjang sampah mblasah naskah”, bunyi ah menggambarkan suasana yang sumpek dan berantakan. Setiap awal bait diawali dengan kalimat yang sama “ing mburine meja redaksi” menegaskan bahwa settingnya tetap di ruang redaksi walaupun konfliknya berbeda-beda.
Rima yang digunakan adlah rima tak sempurna dan berdasarkan letaknya adalah rima diakhir.
Geguritan 2
DONGENG
Yen mung trima arep sesorah
Ing ngomah wis turah-turah
Yen mung trima arep pidhato,
Ing kene wis ora ana sing bodho
Yen mung trima arep janji
Kabeh wis mblenger ing ati
Banjur arep apa maneh
Yen kabeh-kabeh wis padha waleh
Simbah nate ndongengi wayahe
Nalika wiwit mapan turu sore
Thothok Kerot lan Kleting Kuning,
Raden Panji lan Dewi Sekartaji, nganti
Rembulan kang entek dicaplok buta Ijo
-wis cung, wuk, ndang bubuk
dongenge wis suwuk
dibaleni maneh sesuk-
simbah meneng mungkasi critane, sedhela
wis nglimpe putu-putune nglepus dhewe
esuke sumebar kabar sing durung cetha sumbere
Thothok Kerot dhek bengi andum komisi
Kleting Kuning kelangan sada lanange
Raden Panji emoh keri, melu atur upeti
Dewi Sekartaji nangis nggendong bayi nagih janji
Hore,...hore,...keploke Buta Ijo
Nalika weruh rembulan sing diuntal metu maneh
Kenthong gejog mung kari jare-jarene
Simbah wis ora mbaleni dongenge
Marga wis ana kasete
Padangan-Bojonegoro,1989
Geguritan ini dibuka dengan nasehat yang sedikit ada kesan keras,kemudian pengarang menceritakan bagaimana dulu ketika kecil sering didongengkan oleh neneknya sebelum tidur, namun sekarang sudah ada kaset sehingga tidak ada lagi dongeng yang diceritakan.
Pada bait pertama pengarang membuat bentuk zigzag yang menandakan pertentangan setiap barisnya.
Yen mung trima arep sesorah (menyuruh namun mengentengkan)
Ing omah wis turah-turah (mengentengkan perintah diatas dan seolah-olah menentang)
Secara semiotik, disini pengarang menceritakan pengalamannya waktu kecil namun mengggunakan sudut pandang orang ke dua dan tidak begitu jelas ditujukan kepada siapa.
Berdasarkan bunyinya rima yang terkandung dalam geguritan tersebut adalah rima tak sempurna, yaitu sebagian saja suku akhir yang sama dan berdasarkan letaknya termasuk rima kembar.
Secara keseluruhan geguritan ini bagus dengan ditunjang tipografi zigzag.
Geguritan 3
YERUSALEM
Ing kene biyen ketemu tangan sesalaman
Ing kene saiki ketemu tangan kepel-kepelan
Ing kene biyen ketemu mripat pandeng-pandengan
Ing kene saiki ketemu mripat penthelengan
Ing kene biyen ketemu ati esem-eseman
Ing kene saiki ketemu ati cecongkrahan
Ing kene biyen ketemu Injil lan Al Qur’an
Ing kene saiki ketemu prajurit lan kuburan
Ing kene Yerusalem, Yerusalem
Ing kene ora bisa dimangerteni
Antarane biyen lan saiki
Kamangka Gusti mung siji
Biyen lan saiki!
Kadanghaur-Indramayu
Ngadepake paskah 1977
Dharma Nyata, No 310, Minggu IV Mei 1977
Geguritan ini menggambarkan Yerusalem biyen (dahulu) dan saiki (sekarang) yang sangat kontras sekali keadaanya.
Ing kene biyen ketemu tangan sesalaman
Ing kene saiki ketemu tangan kepel-kepelan
Ing kene biyen ketemu mripat pandeng-pandengan
Ing kene saiki ketemu mripat penthelengan
Ing kene biyen ketemu ati esem-eseman
Ing kene saiki ketemu ati cecongkrahan
Ing kene biyen ketemu Injil lan Al Qur’an
Ing kene saiki ketemu prajurit lan kuburan
Pada setiap awal kalimat pada baris pertama hingga baris kedelapan diawali kata ing kene dan ada pertentangan antara baris ganjil dan genap. Judul yang digunakan adalah setting dari geguritan itu sendiri.
Geguritan ini menceritakan keadaan Yerusalem yang dulu damai sekarang rusuh, suasana yang sangat kontras. Namun hanya satu yang tidak berubah yaitu Tuhan, tetap ada dulu dan sekarang (dua baris terakhir).
Geguritan 4
DONGA WENGI
Senajan ta iki dudu kang pungkasan
Nanging apa salahe nyeleh ati
Ing pangkoning lintang wengi
Nglereh tibane rasa pangrasa
Ing pethitinh langit
Banjur silem
Ing kedunging tlagaMU
Padangan-Bojonegoro
Akhir taun 1988
Panjebar Semangat, No.9, tgl 25 Februari 1989
Dalam geguritan ini,pengarang menceritakan tentang do’a malam. Walaupun bukan yang terakhir, namun apa salahnya berdoa kepada Yang Mahakuasa. Geguritan pendek ini mengandung nasehat bahwa berdoa dimalam hari itu sangat baik sebelum engakau diambil nyawanya. Disini Tuhan diantropomorfkan sebagai manusia, dikiaskan sebagai lintang wengi adalah salah satu cara untuk membuat pathos, yaitu menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca hingga ia bersatu mesra dengan obyeknya(Budi Darma, 1982:112) hingga pembaca dapat merasakan apa yang dirasakan penyairnya.
Geguritan ini sederhana namun sulit diparafrasekan, sedikit mengandungkata arkhais seperti “silem”. Dan menggunakan majas metafora seperti pada ”pangkoning lintang wengi”.
Geguritan 5
KARANGPACAR
Nalika ati wiwit midak latar
Sprei masem wis ginelar
Antarane prawan jumagar lan randha lanjar
Apa esem kang kawetu ora palsu?
Sing teka numpak honda plat abang
Sijine lunga seragam premanan
Ing kene ora tinemu naskah srah-srahan
Padha sowang-sowang
Hakekat lan martabat
Ora bakal gelem mertobat
Sing teka, sing lunga lan sing dhasar
Nguyak impen ngisi kasepen
Padangan-Bojonegoro,1975
Panjebar Semangat, No 21, tgl 24 Mei 1975
Pokok pikiran dalam geguritan ini adalah penggambaran suasana di lokalisasi.
Pada bait pertama diceritakan ketika pertama datang ke lokalisasi sudah tersedia tempat tidur dan pilihan antara gadis dan janda yang berjejer. Bait kedua menceritakan bahwa yang datang dilokalisasi itu berbeda-beda dari pejabat (honda plat abang) hingga preman. Bait ketiga sekaligus penutup bahwa keadaan tersebut tidak akan berubah, tidak akan ada tobat karena yang datang dan pergi pun berganti-ganti terus untuk mengejar mimpi yang maya.
Banyak makna konotatif yang terkandung dalam geguritan tersebut seperti :
honda plat abang : pejabat
sprei mesem wis ginelar : tempat tidur sudah tersedia
personofikasi : nguyak impen ngisi kasepen(bait ketiga) menggambarkan secara nyata hal yang tidak bisa divisualisasikan.
Secara semiotik hubungan antara bait satu dengan lainnya adalah hubungan maju namun dengan pokok pikiran yang berbeda setiap baitnya. Dari ketiga bait tersebut menceritakan setting yang sama dengan alur maju.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa geguritan karya J.F.X.Hoery lebih menegaskan kepada settingnya, setting-setting dalam geguritan ini jelas, kata arkhais tidak begitu banyak sehingga mudah dipahami, namun terkadang bahasa yang membingungkan sulit untuk memparafrasekan geguritan tersebut.
Rima yang digunakan dalam geguritan-geguritan karya J.F.X.Hoery juga menarik, kata-kata yang dipilih benar-benar memperhatikan rima sehingga memunculkan kesan keindahan.
DAFTAR PUSTAKA
Aspahani, Hasan “Aliterasi hingga Asonansi” (Online)http://sejuta-puisi.blogspot.com/2004/07/kelas-puisi-2-aliterasi-hingga.html (diakses 13 Juni 2011)
Bojonegoro, Sastra. “RANCAGE "Pagelaran" JFX. Hoery” (Online) http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/2010/10/rancage-pagelaran-jfx-hoery_14.html (diakses 12 Juni 2011).
Darma, Budi. 1982. “Moral dan Sastra”. Basis. Maret XXX-3.
Hermawan,SriSutyoko“PesonaSainsdalamFiksi” (Online)
http://id.wikipedia.org/wiki/J._F._X._Hoery.
Hoery, J.F.X. 2003. Pagelaran. Jogjakarta: Narasi.
Khalid, Umar. “Pengkajian Puisi” (Online) http://www.sastra33.co.cc/2010/06/pengkajian-puisi.html (diakses 13 Juni 2011).
Tuhu Kristanti, Pangestika. “Teori-Teori untuk Memahami atau Mengapresiasi Geguritan” (Online) http://pangestikatuhukristanti.blogspot.com/2010/03/tugas-pengkajian-puisi-jawa-modern.html (diakses 12 Juni 2011).
Rosyid, Abdur “Rima dalam Puisi” (Online) http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/28/rima-dalam-puisi/ (diakses 14 Juni 2011).
LAMPIRAN
1. Puisi yang dianalisis
ING MBURINE MEJA REDAKSI
Ing mburine meja redaksi
Kursi jengki ngadep laci
Tok,...thok,...thok....
Swara lawang kathothok
Permisi pak redaktur
Iki pawarta korupsi lan wong antri
Apa bisa lolos koreksi?
Ing mburine meja redaksi
Kranjang sampah mblasah naskah
Tik-tik-tik-tik....
Swara mesin ketik
Hallo redaksi
Iki piagam lan medhali
Marga koranmu nglegakake ati
Ing mburine meja redaksi
Apa isih lagi mawas dhiri
Apa sesuk isih perlu ngrakit gurit
Apa trima banjur sowang-sowang
Sawise ketemu kadang lan rowang
Becik mbukak lemari lan arsip
Banjur pamit sakdurunge ana kemit
Losarang-Indramayu,1978
Jayabaya, 1968
DONGENG
Yen mung trima arep sesorah
Ing ngomah wis turah-turah
Yen mung trima arep pidhato,
Ing kene wis ora ana sing bodho
Yen mung trima arep janji
Kabeh wis mblenger ing ati
Banjur arep apa maneh
Yen kabeh-kabeh wis padha waleh
Simbah nate ndongengi wayahe
Nalika wiwit mapan turu sore
Thothok Kerot lan Kleting Kuning,
Raden Panji lan Dewi Sekartaji, nganti
Rembulan kang entek dicaplok buta Ijo
-wis cung, wuk, ndang bubuk
dongenge wis suwuk
dibaleni maneh sesuk-
simbah meneng mungkasi critane, sedhela
wis nglimpe putu-putune nglepus dhewe
esuke sumebar kabar sing durung cetha sumbere
Thothok Kerot dhek bengi andum komisi
Kleting Kuning kelangan sada lanange
Raden Panji emoh keri, melu atur upeti
Dewi Sekartaji nangis nggendong bayi nagih janji
Hore,...hore,...keploke Buta Ijo
Nalika weruh rembulan sing diuntal metu maneh
Kenthong gejog mung kari jare-jarene
Simbah wis ora mbaleni dongenge
Marga wis ana kasete
Padangan-Bojonegoro,1989
YERUSALEM
Ing kene biyen ketemu tangan sesalaman
Ing kene saiki ketemu tangan kepel-kepelan
Ing kene biyen ketemu mripat pandeng-pandengan
Ing kene saiki ketemu mripat penthelengan
Ing kene biyen ketemu ati esem-eseman
Ing kene saiki ketemu ati cecongkrahan
Ing kene biyen ketemu Injil lan Al Qur’an
Ing kene saiki ketemu prajurit lan kuburan
Ing kene Yerusalem, Yerusalem
Ing kene ora bisa dimangerteni
Antarane biyen lan saiki
Kamangka Gusti mung siji
Biyen lan saiki!
Kadanghaur-Indramayu
Ngadepake paskah 1977
Dharma Nyata, No 310, Minggu IV Mei 1977
DONGA WENGI
Senajan ta iki dudu kang pungkasan
Nanging apa salahe nyeleh ati
Ing pangkoning lintang wengi
Nglereh tibane rasa pangrasa
Ing pethitinh langit
Banjur silem
Ing kedunging tlagaMU
Padangan-Bojonegoro
Akhir taun 1988
Panjebar Semangat, No.9, tgl 25 Februari 1989
KARANGPACAR
Nalika ati wiwit midak latar
Sprei masem wis ginelar
Antarane prawan jumagar lan randha lanjar
Apa esem kang kawetu ora palsu?
Sing teka numpak honda plat abang
Sijine lunga seragam premanan
Ing kene ora tinemu naskah srah-srahan
Padha sowang-sowang
Hakekat lan martabat
Ora bakal gelem mertobat
Sing teka, sing lunga lan sing dhasar
Nguyak impen ngisi kasepen
Padangan-Bojonegoro,1975
Panjebar Semangat, No 21, tgl 24 Mei 1975
2. Puisi karya sendiri
Dadi Raja
Dadi raja
Kudune gawe rakyate minulya
Ora kena gawe lelara
Ora kena durjana
Apa maneh gawe bencana
Dadi raja
Aja kaya puntadewa
Rajane numpak mercy
Rakyate dadi TKI
Dadi raja
Kayata pandudewanata
Rajane mulya
Rakyate sengsara
Semarang, 14 Maret 2011
Kedung balung
Sih lan tresnaku kanggo kowe
Ora mung kanggo sakminggu
Ora minggu iki,
Ora minggu wingi
Mung wewayanganmu sing tak golek
Ing layang-layangmu
Tak waca bola-bali
Bola-bali tak waca
Bola-bali tak anyari pandongaku
Kanggo kowe
Kanggo saiki tekan mbesuke
Kanggo kowe sing ana ing kedung balungku
Semarang,Januari 2011
Gambar Kembar
Kembar gambare
Gambarane wong kembar
Kaya jambe sinigar
Kembar tengen kiwane sing dikarep ya ijen
Becik ya ijen becike
Lembah manah ya ijen lembah manahe
Ora mung kembar sakpada watone
Mung kaya gambar kembar
Mung kembar gambare
Ora tinuku lathine
Ora diumbar simbare
Kaleme kalem watu gunungdigdaya nalika ngglundung
Najan meneng uga digadya
Meneng anteng sinanding dupa
Semarang, Januari 2011
Udan
Mesti tak enteni kowe,
Saben wayah kaya ngene
Saya gedhe swaramu saya banter anggonku crita
Saya akeh angin kang mbok gawa saya greget anggonku ngadu pikir
Aku isa crita ya mung karo kowe
Sanajan kowe ora tau semaur
Kowe ngerti apa kang dadi rerasanku
Seprana-seprene aku mung bisa crita marang kowe
Akehing rengga marang uripku, kowe sing mangerteni
Ucul lan baline tali tresnaku, kowe sing mangerteni
Seneng lan cuwaku kowe sing mangerteni
Udan..
Kowe sing kabeh ngerti lelakonku
Ora bakal ana liyane
Mung kowe udan..
Semarang, Juni 2011
Semut
Semut mlaku baris rentep-rentep
Apa kleru yen awake dhewe nyonto lakune semut
Sanajan akeh
Tetep bisa anut, manut lan runtut
Apa kleru yen nagari iki kaya lakune semut
Tekan kapan nagari iki arep kaya mangkene
Tekan kapan pak mentri nganggo mercy
Rakyate dadi TKI
Tekan kapan pejabat mangan roti
Rakyate mangan sega wingi
Kapan nagari iki bisa kaya lakune semut
Kayata Ngastina ing tangane Pandudewanata
Semarang,Maret 2011