Sebenarnya jam makan siang sudah
berlalu sejak tadi, namun dua lelaki parlente
itu masih saja asyik
membicarakan sesuatu. Sebuah warung pecel yang jauh dari kesan sempurna itu
ternyata masih mampu membius orang-orang seperti mereka untuk berlama-lama
disitu. Entah apa yang mereka bicarakan sehingga melahap pecel sepiring saja
butuh waktu satu jam lebih.
Sebenarnya aku tak ingin menguping,
namun telinga ini sudah terlanjur mendengarkan apa yang mereka bicarakan, jadi ku
rasa ini bukanlah suatu dosa terbesar. Selama hampir sepuluh tahun berjualan pecel disamping jembatan besi, baru
kali ini ibuku kedatangan pelanggan yang berdasi. Pecel buatan ibuku memang
sudah dikenal enak, namun enak dikalangan ekonomi kebawah yang hanya mampu mengeluarkan selembar lima ribuan untuk nasi pecel dan
segelas es teh bukan enak dikalangan mereka orang-orang Senayan.
“Apa kita tidak terlalu jauh,
bang?” kata lelaki berbaju merah marun itu.
“Terlalu jauh gimana?” yang baju
putih lily berdasi biru menjawabnya.
“Kita sudah melibatkan terlalu
banyak orang bang, aku takut kalau keluargaku ikut terseret”
“Ah kamu, jangan jadi penakut
begitu! Kita butuh uang, uang!”
“Iya bang, aku tau. Dengan cara
apapun akan kulakukan asalkan dapat uang, namun untuk yang ini kurasa terlalu
banyak yang terlibat bang”
“Kamu sudah berapa kali terlibat
kasus seperti ini?? Jangan begitulah..”
“Berkali-kali lah bang, abang tau
sendiri kan? Tapi…”
Lelaki itu mengaduk-aduk pecelnya
yang kulihat sudah sangat lumat.
“Optimis saja, ini bakal sukses
seperti yang sebelum-sebelumnya”
Lelaki berbaju merah itu diam dan
kembali mengaduk-aduk pecel pesanannya, yang kurasa tak dirasakan
kenikmatannya. Mereka kelihatan seperti
memikirkan sesuatu yang sangat berat.
“Bagaimana kalau kita bunuh saja
Mr.X, bang? Dia kan saksi kuci atas semua kasus ini.” Kata sibaju merah yang
sudah menampakkan keberaniaanya.
“Serius kau,??sebenarnya aku juga
berpikiran seperti itu sejak tadi”
“Seriuslah bang, dia terlalu
membahayakan untuk dibiarkan berkeliaran di dunia ini”
“Ok, bagus juga idemu. Caranya
bagaimana?”
Lelaki berbaju merah itu
membisikkan sesuatu kepada si baju putih sambil tangannya seperti memperagakan
apa yang sedang dibacarakan.
“Cemerlang juga otakmu, okelah kita
sikat orang-orang busuk seperti mereka”
Orang itu kembali makan seperti
pelanggan lain, seolah tak ada hal serius yang telah mereka perbincangkan.
Namun kelihatan bahwa mereka seperti orang yang sedang gelisah, pecel yang
mereka pesan hanya diaduk-aduk tak jelas.
Sejak saat itu mereka sering
bertandang ke warung pecel ibuku, dan setiap mereka datang selalu saja
terbersit olehku untuk mendengarkan semua yang mereka perbincangkan. Dan entah
suatu kebetulan atau bagaimana setiap mereka datang warung tak begitu rame jadi
aku bisa leluasa mendengarkan mereka.
Bangku pojok adalah bangku favorit
mereka, memang tempat itu sangat strategis untuk membahas hal yang tidak perlu
diketahui orang lain. Namun dari posisi itulah aku semakin bisa leluasa
mendengarkan mereka dari gerobak yang hanya bersekat jendela tanpa kaca.
“Gimana, kau sudah menyelidiki
Mr.X?
“Sudah bang, namun agak sulit untuk
menghabisinya, kita butuh kecermatan lebih”
“Ya, seperti yang sudah kubilang
dia memang agak sulit, pelan-pelan saja Min, kita yang bakal mendapat semua
uang itu. hahaha!”
Lelaki yang dipanggil Min itu diam
sambil menghisap cerutunya.
“Begitulah.. Ku harap minggu depan
dia sudah lenyap ha..ha..”
Dari cuplikan-cuplikan yang
kudengar dapat kusimpulkan bahwa mereka bukanlah orang bersih dikancah politik.
Hal itu yang membuat rasa penasaran sekaligus ketakutan jika terlibat dalam
kasus itu. Kedua orang itu nampaknya sudah mulai curiga denganku, pasalnya aku
selalu mengendap-endap di dekat gerobak saat mereka memperbincangkan hal itu.
Otak yang telah dikaruniakanNya ternyata
tak sia-sia berpasangan dengan kepalaku, otak yang biasa aku gunakan untuk
merayu gadis-gadis, kini ku gunakan untuk memikirkan sesuatu yang sedikit lebih
berbobot. Karena penasaran dan tak ingin terlibat lebih jauh dengan kasus
mereka kugunakan satu-satunya handphone bututku untuk merekam percakapan
mereka, kupasang HP dibawah meja mereka biasa berbincang sesaat sebelum mereka
datang. Dan alhasil berhasil juga pekerjaan perdanaku, walaupun suaranya kurang
jelas namun masih bisa didengar.
“Nanti malem jam setengah sebelas
bang, dia pulang kantor sendirian.
Asistennya sedang pulang kampung. Kurasa ini saat yang tepat untuk kita
menghabisinya”.
“Ya, bagus! Aku sudah menyewa
beberapa preman untuk menghabisinya”
“Wah kerja yang bagus, bisa tenang
hidup kita kalu dia sudah tewas. Hahaha!”
“Betul sekali, bisa hidup enak
kita.”
Tiga hari mereka tak menyambangi
warung ibuku, banyak yang kupikirkan tentang mereka. Jangan-jangan mereka sudah
tertangkap polisi atau mereka malah yang menjadi korban pembunuhan atau mereka
telah pindah ke Hongkong, Singapura atau malah sudah terbang ke negeri Paman
Sam seperti berita-berita di TV.
Tak seperti biasanya Min dan
temannya datang satu jam lebih awal setelah tiga hari tak makan pecel ibuku.
Mereka kelihatan sangat gelisah dan banyak pikiran.
“Gawat, kita sudah tercium oleh
polisi!”
“Ya, harus segera meninggalkan
negeri ini. Aku tak mau tidur di bui sekalipun dengan fasilitas lengkap bang!”
“Jangan terlalu cepat mengambil
keputusan, kita harus hati-hati Min”
Setelah hari itu mereka tak pernah
lagi muncul di warungku, namun justru mereka lebih sering berada di layar
televisi sebagai buronan dalam kasus pembunuhan dan korupsi. Tim KPK sedang
menyelidiki kasus dua lelaki yang sering makan diwarungku. Aku sebagai orang
yang mungkin satu-satunya yang mempunyai bukti kunci semakin deg-degan dengan pemberitaan itu.
***
Teguh
Tri Wiguna, akhirnya nama dan wajahku muncul di televisi sebagai saksi dalam
kasus besar itu. Aku menjadi public
figure dadakan yang selalu dikejar para pemburu berita. Seorang pemuda dari
kalangan biasa saja yang mampu memasukkan dua penjahat negara ke dalam bui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar