Senin, 25 Juni 2012

ANALISIS PERBANDINGAN CERITA RAMAYANA DENGAN CERITA PANJI BAWANG MERAH BAWANG PUTIH




ANALISIS PERBANDINGAN CERITA RAMAYANA DENGAN CERITA PANJI BAWANG MERAH BAWANG PUTIH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan
Dosen Pengampu: Drs. Sukadaryanto, M.Hum




 Oleh :
Asih Setyarini        (2601409073)
Rombel  1

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas semua rahmat serta karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir yang berjudul “Analisis Perbandingan cerita Ramayana dengan cerita Panji Bawang Merah Bawang Putih”.
Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam Ujian Akhir Semester genap mata kuliah Sastra Bandingan
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Tugas Akhir ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Tugas Akhir  ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Semarang, 9 Juni 2012
Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Cerita Ramayana termasuk dalam cerita wayang yang mengambil cerita epos yang berasal dari India. Pada dasarnya cerita Ramayana adalah puisi (Kavya) yang dipakai untuk memberikan ajaran moral kepada kaum muda yang meliputi ajaran moral (darmasastra), politik dan peperangan (arthasastra), tata cara hidup (nitisastra). Cerita ini digubah dari Ramayana Valmiki.
Di pulau Jawa dan Bali, cerita Ramayana di terjemahkan dalam berbagai bentuk tradisi dan seni. Cerita Ramayana di gambarkan pada rangkaian panil candi di Candi Prambanan di Jawa Tengah dan Candi Panataran di Jawa Timur. Petikan-petikan cerita Ramayana juga diterjemahkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti sendratari Ramayana yang biasanya dipentaskan secara kolosal di alam terbuka dengan Candi Prambanan sebagai latar belakangnya. Selain itu, Cerita Ramayana juga dipentaskan dalam bentuk pertunjukan wayang baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali.
Cerita Rakyat bawang merah bawang putih merupakan cerita rakyat yang berasal dari Jawa Tengah, tidak diketahui siapa pembuatnya. Namun ada pula yang menyebut bahwa cerita ini berasal dari Melayu. Namun baik dari Jawa tengah maupun melayu, garis besar ceritanya tetap sama.  Kisah ini bercerita mengenai dua orang gadis cantik kakak beradik yang memiliki sifat dan perangai sangat berbeda lagi bertolak belakang, serta mengenai seorang ibu tiri yang tidak adil dan pilih kasih. Dongeng ini memiliki tema dan pesan moral yang hampir sama dengan dongeng Cinderella dari Inggris.
Dalam analisis sastra terdapat beberapa sudut pandang dalam mengapresiasinya. Perbedaan sudut pandang inilah yang kemudian memunculkan adanya berbagai jenis analisis sastra, tergantung dari mana sudut pandang yang dipakai. Dimulai dari analisis structural, structural genetic, structural semiotic, mimetic, ekspresif, stilistik, interteks, feminis resepsi, postcolonial dan postmodern lainnya. Perkembangan ini sejalan dengan kemampuan dan kreativitas para penikmat satra.
Dalam tulisan ini, dibahas analisis sastra dari tinjauan pembaca yang biasa disebut dengan analisis resepsi sastra. Resepsi berasal dari bahasa Latin recipere, yang berarti penerimaan (pembaca). Beberapa decade terakhir, teori-teori postrkturalisme memberikan perhatian yang serius kepada kompetensi pembicara.
Teori resepsi (reception-theory) adalah teori sastra yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra yakni tanggapan umum yang mungkin berubah-ubah yang bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu (Sudjiman 1984:74). Disini sudah cukup jelas bahwa teori resepsi ini mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra.
Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus 1985:1). Lanjutnya tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif. Tanggapan yang bersifat pasif adalah bagaimana senang pembaca dapat memahami karya tersebut atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu bagaimana pembaca “merealisasikan”-nya.
Munculnya penelitian resepsi sastra ini mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra khususnya dalam ilmu sastra modern. Selama ini penelitian sastra hanya ditekankan pada teks dan dalam rangka memahami arti teks tersebut seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks). Ari sebuah teks (karya sastra) dapat dilihat dengan hanya mempelajari teks itu dengan penulisnya.
Menurut Segers (1978: 40-41), peletak dasar resepsi sastra adalah Mukarovsky. Meskipun demikian, gagasan-gagasan pokok dan mendasar tentang teori resepsi sastra ini dikemukakan oleh Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser, masing- masing dalam bukunya yang berjudul Literaturgeschichte als Provokation dan Die Appelstruktur der Texts. Jauss memusatkan perhatian pada pembaca dalam rangkaian sejarah, sedangkan iser pada karya sastra sebagai komunikasi, pada pengaruh yang ditimbulkannya, bukan semata-mata pada arti karya. Konsep terpenting Jauss adalah horizon harapan (Krwartungshorizont) sedangkan Iser adalah inderterminasi atau ruang kosong (Leerstellen).
Pada makalah ini, penulis akan mengomparasikan teks Ramayana dengan cerita Panji Bawang Merah Bawang Putih, bagaimana keduanya dikomparasikan dengan menggunakan teori resepsi sastra ini. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai aplikasi resepsi sastra ini terhadap Ramayana dan cerita Panji.
1.2  Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang diatas masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana motif cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih?
2.      Bagaimana penokohan cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih?
3.      Bagaimanakah resepsi pembaca dalam mengomparasikan cerita Ramayana dan Bawang merah bawang putih?

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana motif cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih serta tanggapan atau resepsi pembaca dalam mengomparasikan cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih.

1.4  Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis.
Secara teoritis penelitian ini dapat dipakai sebagai sumbangan pengetahuan mengenai teori sastra khususnya tentang teori resepsi sastra.
Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan cerita Ramayana dan Bawang Merah Bawang Putih. Dalam proses pengomparasian dibutuhkan kejelian, ketelitian serta pemahaman untuk bisa menafsirkan dan membandingkan kedua cerita ini.
Melalui perbandingan kedua cerita ini diharapkan mampu untuk memetik pesan-pesan moral dalam kedua cerita ini. Selain itu, makalah ini dibuat sebagai bahan pengetahuan dan referensi bagi rekan-rekan yang akan mengkaji teori resepsi sastra.











BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Sejarah Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
Michael Riffaterre (1959) dengan jelas mendasarkan analisis stilistika-nya kepada dunia pembacanya/penerimanya. Ia mengidentifikasi pembaca sebagai informan yang boleh “dipancing” untuk memberikan tanggapan, dan inilah yang disebut dengan Average Reader. Dengan ini, Riffaterre memang mempunyai pikiran yang sama dengan yang berkembang pada resepsi sastra, meskipun tidak meluas.
Demikianlah sejarah awal munculnya teori resepsi sastra, yang selanjutnya akan dirumuskan dan dikembangkan oleh Jausz dan Iser, serta dianggap sebagai teori resepsi sastra yang dianut saat ini. Hal ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya.
2.2 Teori Resepsi Sastra
Teori sastra respon pembaca sering juga dikenal dengan istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan konseptual kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin melihat relasi pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada teori ini adalah kritik respon pembaca ( reader-response criticism ). Kritik ini menyatakan bahwa “makna” karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif. Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan makna kedalam teks sastra. Kritik ini menganggap bahwa orang yang berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh mana kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif, maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.
Jauss sebagai tokoh perumus dan pengembang teori resepsi sastra, dalam teorinya ia memusatkan perhatiaan bagaimana suatu karya diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horizon penerimaan tertentu atau erwartungshorisont atau horizon of expretion. Partisifasi pembacalah yang menghidupkan karya sastra. Sebuah karya baru menjadi peristiwa sastra, bila karya itu telah dilihat dengan adanya hubungan antara karya sastra lain. Suatu karya akan menyebabkan pembacanya memberikan reaksi tertentu berdasarkan textual strategy tertentu. Jadi bisa kita asumsikan bahwa penerimaan dapat dilihat sebagai perluasan dari aspek semiotic yang timbul dalam pengembangan dan perbaikan suatu system. dengan kata lain perubahan horizon penilaian juga bisa mengalami perubahan.
Penerimaan karya sastra dalam lapisan masyarakat bisa terjadi dengan berbagai macam kemungkinan. Reaksi atau parsitifasi aktifnya terjadi dalam bentuk adanya orang yang menciptakan karya sastra yang lain. Reaksi ini berbeda dari penerimaan pasif yang sifatnya hanya mengomentari, menyukai, memberi kritikan dan memberi masukan terhadap karya sastra tersebut. Memperhatikan bagaimana karya sastra diterima oleh seorang penulis, yang lebih kemudian dan bagaimana seterusnya ia bisa melanjutkan, memberikan kemungkinan lain; estetika dan presfektif peluang/kemungkinan penyusunan sejarah serta yang lain, yang menekankan pada aspek perkembangannya dalam hal ini karya sastra Ramayana dan cerita rakyat Bawang merah bawang putih sebagai objek yang akan ditelaah.
Pendekatan Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan. Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini memberikan krangka bagi perkembangan sastra karena pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas kesan seperti yang di asumsikan oleh Iser.
Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (latin), reception (inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu. Selanjutnya, Endraswara mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang memfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut. Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi terbagi menjadi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca ideal. Pembaca biasa adalah pembaca dalam arti yang sebenarnya, yang membaca karya sastra sebagai karya sastra bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian.
Dalam penelitian resepsi ada dua cara, yaitu sastra sinkronis, meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman dan resepsi sastra diakronis melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Iser (Ibid: 182-203) mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, dimana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya.
Ruang kosong dengan sendirinya merupaka lokus utama bagi kualitas interpretasi. Dalam hubungan ini dikatakan bahwa pembaca diarahkan oleh teks. Dalam hubungan ini jelas kemampuan pembaca sebagai instansi memegang peran penting, artinya pembaca yang bisa diarahkan justru pembaca yang memiliki kemampuan, pembaca sebagai gudang pengalaman, bukan pembaca yang miskin pengalaman
Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi yang paling menonjol dalam lingkup teori sastra.
1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika hans Robert Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda.
Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara  singkat ketujuh tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini. Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa seharihari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi, ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks sastra.
3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan, sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.
5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejaran sastra menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.
7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu perlu mendapat kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tempaknya memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan sastra modern.
Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. (Jauss 1983: 21)
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastraannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.
Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Menurut Jauss, horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang mendominasi.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca; (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca; (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks; dan (5) siatuasi penerimaan seorang pembaca.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca; (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.
2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh eksponen mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh pembaca).
Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa karya saastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik, dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di luar teks. Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnya.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang. Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.
2) Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syaratsyarat:
a) kemampuan dalam bidang bahasa,
b) kemampuan semantik,
c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya.
Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika seorang pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu memberikan arti kepada sebuah teks? Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca. Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi aktualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencoba memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten maupun tidak. Teks menampung segala macam pembaca, siapapun dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.
Perhatikan bahwa teks sastra disusun seorang pengerang (dengan pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama, yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks. Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetif-perspektif tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif.
Instruksi-instruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh struktur teks. Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret, isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep implied reader memungkinkan kita mendeskripsikan efek- efek struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks sastra.
2.3   Dasar-Dasar Resepsi Sastra
Pada mulanya teori formalis Rusia   dan   strukturalisme   Praha yang  dimulai  awal  abad  ke-20 menjadi   bahasan   utama   dalam menganahsis sastra. Namun, sekitar setengah   abad   kemudian   mulai diingkari. Teori yang secara khusus memberikan perhatian pada struktur formal mulai ditinggalkan,digantikan dengan cara memberikan intensitas pada relevansi pembaca. Pemahaman  dengan  memberikan perhatian   pada   pembaca   inilah kemudian  disebut  sebagai  resepsi sastra (rezeptionsasthetic).  Tokoh yang   perlu   disebutkan   adalah Mukarovsky.  Sesuai  dengan  judul bukunya, yaitu Aesthetic Function, Norm, and Value as Social Facts, menurut Mukarovsky (1979: 94-95; Segers,        1978:   38), adalah  fungsi-fungsi  estetis  yang berhubungan  dengan  nilai  sebagai fakta-fakta  sosial.  Norma  estetis adalah  regulator  terhadap  fungsi estetis  itu  sendiri,  aturan  yang bergerak secara terus-menerus dan selalu  diperbaharui. 
Teori resepsi antara lain dikembangkan oleh RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika. (1978) Di dalam pengantarnya ia menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie esthetika geintroduceerd" (RT. Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi esthetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada akhir taboo 60-an. la menunjuk artikel Roman Jacobson: "Linguisties and Poeties" (1960) yang berisi sebuah model komunikasi. Pada penerbitan yang terdahulu D.W. Fokkema dkk. (1977) menyajikan "The Rezeption of Literature: Theory and Practice of'Rezeptionns aesthetik" dalam bab 5 bukunya yang berjudul "The ories of Literature in The Twentieth Century. Di dalam bab 5 mereka mengutip pendapat Lotman (1972) "Infact, the literary work consist of the text (the system of intra-textual relations) in its relation toextra-textual reality: 10literary norms, tradition and the imagination". Selanjutnya ia mengutip pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) "Reception (therefore) occurs as a process creating meaning, which realizes the instructions given in the linguistic appearance of the text" (D.W Fokkema, 1977: 137).
Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi estetika yang diletakkan oleh Hans Robert ]auss dan Wolfgang Iser. Menurut ]auss (1970) ada tiga dasar faktor cakrawala hardpan yang dibangun pembaca:
(1) norma-norma genre terkenal teks yang diresepsi;
(2) relasi implisit dengan teks yang telah dikenal dari periode sejarah sastra
yang sarna;
(3) kontradiksi flksi dengan kenyataan.

Ada tiga macam pembaca:
(1) Pembaca sesungguhnya
(2) Pembaca implisit
(3) Pembaca eksplisit
Menurut Segers (1975) pembaca sesungguhnya termasuk kategori yang paling mendapat perhatian, termasuk dalam toori esthetika. Menurut Iser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan yang terletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen di dalam teks yang diberikan.
Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya.  Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan  dalam  teks  tersebut.  Pengisian  tempat  terbuka  ini  dilakukan  melalui Proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna” dalam mengisi “tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.
Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi terbagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca ideal. Pembicara biasa adalah pembaca dalam arti sebenarnya, yang membaca karya sastra sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian. Pembaca ini membaca karya sastra dengan tujuan tertentu (Junus, 1985:52).
Luxemburg (1982:77) menyatakan pembaca “di dalam” teks atau pembaca implisit dan pembaca “di luar teks” atau pembaca eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang ialah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang kita dapat dalam teks. Pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.
Dalam meneliti karya sastra berdasarkan metode estetika resepsi, sesungguhnya dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode sastra, sedangkan diakronik adalah penelitian terhadap sebuah karya sastra dalam beberapa masa atau beberapa periode sastra, dari masa karya sastra terbit, kemudian resepsi periode selanjutnya hingga sekarang. Dengan kata lain, sinkronik meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman atau satu periode sastra. Cara kedua lebih rumit karena melibatkan tanggapan pembaca sepanjang sejarah atau beberapa periode sastra (Ratna, 2008:167).
Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda.  Ciri   khas   sastra   setiap   periode / angkatan   merupakan  gambaran   dari Masyarakatnya sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya serta ciri-ciri unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra itu sendiri. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut :
1.      Periode 1920-an atau Masa Balai Pustaka
2.      Periode 1930-an atau Masa Pujangga Baru
3.      Periode 1945-an atau Masa Angkatan 45
4.      Periode 1966-an atau Masa Angkatan 66
5.      Periode 1970-an atau Masa Sastra Kontemporer
6.      Periode 2000-an atau Masa Angkatan 2000.

2.4  Teori Perbandingan
Pada hakikatnya sastra perbandingan adalah membaandingkan antara dua karya sastra atau lebih dalam kurun waktu yang berbeda atau dalam waktu yang bersamaan. Sastra perbandingan masih termasuk dalam wilayah kritik sastra. Dalam membandingkan karya-karya sastra ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam karya sastra tersebut.
Menurut Babirin (dalam Sukadaryanto 2010:101) metode perbandingan dalam studi sastra perbandingan pada dasarnya adalah kritik sastra yang objek telaahnya lebih dari satu. Maka metode yang dipergunakan metode kritik sastra. Kegiatan yang dilakukan juga sama yang dilakukan juga sama yang dilakukan dengan kritik sastra, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai. Karena objeknya lebih dari satu maka masing-masing objek haruslah dianalisis atau dikaji dengan teori yang sesuai dengan persoalan yang ada di dalam karya sastra. Barulah kemudian hasil analisis tersebut diperbandingkan.
Dalam sastra perbandingan ada dua metode yang dipergunakan, yaitu:
1.      Metode Perbandingan Diakronik
Metode ini memperbandingkan dua karya sastra yang berbeda periodenya. Contohnya cerita Roro Mendut dan Pronocitro dengan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang menyoroti tentang eksistensi wanita.
2.      Metode ini membandingkan dua karya sastra yang dalam satu periode. Contohnya cerita Serat Ngulandara karya Margono Sastro Admojo dengan Serat Rijanta karya R.B.Soelardi.
Perbandingan dapat pula dilakukan antara karya sastra satu periode (Jawa Kuna) dengan karya sastra periode yang lain (zaman Surakarta). Setelah ditelaah dan diperbandingkan antara dua buah karya sastra yang berbeda periodenya, ditemukan pula konvensi yang diteruskan sambil ditentang, serta invensi yang memisahkan kedua angkatan tersebut. Maka, dapat ditarik adanya garis pemisah yang membedakan antara kedua periode tersebut.
Pada eksistensinya metode perbandingan ini dapat sangat diperlukan untuk mengetahui atau menjaring beberapa karya sastra yang sekiranya belum terungkap keberadaan atau generalisasinya dengan karya sastra yang masih ada hubungannya dengan karya sastra yang terdahulu. Sehingga orang akan tahu bahwa karya sastra yang satu masih ada hubungannya dengan karya sastra yang lainnya.
2.5  Motif Cerita
Secara sangat umum, sebuah unsure yang penuh arti dan yang diulangi didalam satu atau sejumlah karya sastra. Bila berkaitan dengan berbagai karya sastra (pendekatan historis-komparatif) sebuah kesatuan semantic yang tanpa perubahan atau dengan perubahan atau dengan perubahan kecil muncul dalam karya-karya itu.
Didalam suatu karya (pendekatan strukturalis), unsure arti yang paling kecil didalam cerita. Motif  dapat berupa salah satu gagasan yang dominan di dalam karya sastra yang dapat berupa peran atau citra yang berulang pola pemakaian kata dasar. Motif yang umum dapat dipergunakan untuk menggaambarkan atau membandingkan motif dari orang yang berbeda-beda. Pengertian motif disini memeperoleh fungsi sintaksis. Dibedakan antara motif dinamis dan statis. Yang pertama berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dalam cerita atau motif intrigue. Yang kedua berkaitan dengan situasi dan menentukan pelukisan suasana atau watak. Bila dibaca lalu direfleksi, maka para pembaca akan melihat motif-motif tadi secara keseluruhan dan dapat menyimpulkan satu motif dasar. Apabila motif dasar tersebut dirumuskan kembali secara metabahasa, maka dapat ditemukan tema dalam sebuah karya sastra (Hasanuddin, 2007:521-522).
Philip Frick Mckean menerapkan cara penganalisisan strukturalis Alan dundes terhadap dongeng-dongeng kancil dari khazanah folklor jawa.Dari struktur dongeng-dongeng kancil, moufeme-moufeme yang ditunjukkannya adalah secara benturan dari lack liquidates (LL) ke lack liquidates (LL) kembali.menurutnya,berdasarkan urutan motifeme tersebut.dapat disimpulkan bahwa ideal folk jawa selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng Sang kancil, diketahui bahwa kancil mewakili tipe ideal orang jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang, yang Mckean sebut sebagai cool mintellgence dalam menghadapi kesulitan,selalu dapat dengan cepat memecahkan masalah yang rumit tanpa banyak ribut-ribut tanpa banyak emosi (Mckean,1971-83-84 dalam Danandjaja,1994:96).  
2.6  Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminiddin, 1995:79). Mengenal penokohan, menurut Wellek dan Waren (diterjemahkan oleh Melani Budianta, 1990:288), ada penokohan statis dan ada penokohan berkembang.
Penggunaan istilah tokoh merujuk pada pelaku cerita, menurut Abrams tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan yang dilakukan dalam tindakan, (Nurgiantoro, 2007:165)
Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang dalam karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita menjadi lebih nyata dalam angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual. Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita. Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu kepada tokoh.


















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Motif Cerita
3.1.1 Motif Percintaan
a. Motif Percintaan Ramayana
Motif percintaan dalam cerita Ramayana adalah percintan antara Rama dengan Sinta seperti dalam kutipan berikut ini :
“Dalam pada itu Rama mulai sadar, bahwa telah terjadi sesuatu dengan istrinya. Rasa was-was itu ternyata benar ketika Laksmana muncul dengan pakaian kusut dan rambut tak teratur membawa kabar bahwa Sita hilang. Rama berkeliling kemana-mana mencari istrinya yang hilang. Ia menemukan bekas-bekas pertempuran yang dahsyat, kereta patah dan sayap yang terpotong. Dalam amarahnya ia hampir saja memusnahkan seluruh dunia dengan panahnya tetapi dicegah oleh adiknya. Kemudian mereka menemukan Jatayu yang terluka parah; sebelum menghembuskan nafas terakhir ia menceritakan apa yang terjadi. Setelah Jatayu diperabukan, mereka meneruskan perjalanannya. Mereka bertemu dengan raksasa yang bernama Dirghabahu yang dibebaskan dari suatu kutukan dan menjelma kembali menjadi seorang anak dewi Sri, dan dengan Sibari seorang pertama yang tinggal sendirian, yang kemudian dibebaskan Rama dari penderitaanya, akibat kelakuan yang kurang baik. Keduanya member nasehat, supaya Rama menuju gunung Rsyamuka dan minta bantuan kepada Sugriwa, raja para kera yang sangat sakit hati karena istrinya yang bernama Tara, dengan paksaan dilarikan oleh adiknya yang bernama Bali; keduanya meramalkan, bahwa ia akan menemukan kembali Sita, isterinya. Menyusullah suatu lukisan panjang lebar mengenai perjalanan Rama lewat hutan Pratikampa; keindahan alam sekitarnya hanya memperdalam dukanya, karena kehilangan istri.”
“Hujan turun, musim yang menimbulkan rasa rindu akan seorang kekasih. Rama melewatkan musim ini dalam kedukaan yang dalam dan tak terlukiskan. Segala sesuatu yang terjadi di alam raya kelihatan baginya sebagai akibat perbuatan dewa Kama yang ingin mengingatkannya akan Sita dan demikian menyikasanya.”
            Rama dan Sita melakukan perjalanan, hingga kemudian Sita diculik Rahwana. Rama yang demikian cintanya akan istrinya begitu sedih atas kejadian  itu. Namun akhir dalam cerita percintaan ini adalah bahagia karena Rama dan Sita bertemu kembali.

b.    Motif Percintaan Bawang Merah
Dalam cerita ini terdapat motif percintaan antara pangeran dan Bawang putih yang berakhir bahagia, seperti pada kutipan berikut :
 “Sementara Pangeran mendekati Bawang putih dan memegang tangannya sambil berkata,”Diajeng bwang putih bersediakah engkaau menjadi istriku?”. Bawang putih mengangguk pelan. Wajahnya tertunduk malu. Demikianlah, bawang putih yang baik hati dan senantiasa bersabar atas derita itu akhirnya diboyong ke istana untuk menjadi istri pangeran. Mereka hidup bahagia hingga akhir hayat.”
Analisis perbandingan:
     Dari motif percintaan kedua cerita tersebut ada persamaan dan perbedaannya. Persamaannya yaitu akhir cerita yang sama-sama bahagia, dalam cerita Ramayana Rama dan Sita akhirnya dipertemukan kembali sebagai sepasang suami istri sedangkan dalam cerita bawang merah bawang putih Bawang putih dan Pangeran akhirnya dipertemukan dan kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya. Akhir yang bahagia merupakan ciri khas cerita Indonesia, sehingga pembaca tidak dituntut untuk meresepsikan sendiri akhir cerita tersebut. Selain itu persamaan lain adalah bahwa sepasang kekasih itu berpisah untuk mengembara.
     Sedangkan perbedaanya adalah dalam Ramayana lebih dijelaskan runtu bagaimana perpisahan mereka sedangkan dalam Bawang merah dan bawang putih tidak.

3.1.2 Motif Pengembaraan
a.      Motif Pengembaraan Ramayana
Motif cerita Pengembaraan seperti ketika Rama, Sita dan Laksmana mengembara ke hutan dandhaka dan ketika Hanuman dalam pengembaraannya mencari Sita atas perintah Rama. Seperti dalam kutipan berikut :
“Di Ayodhya diadakan persiapan bertepatan dengan upacara penobatan RamaRama, Sita dan Laksmana meneruskan pengembaraan mereka dan tiba di hutan Dandaka, tempat mereka membunuh seorang raksasa yang bernama Wiradha, yang menyerang mereka; sesudah itu mereka menetap di pertapaan Sutiksna dan menjalani kehidupan sebagai pertapa. Senjatanya hanya mereka bawa untuk melindungi pertapa-pertapa lainnya.”
“Dalam perjalanan lewat udara Hanuman berjumpa dengan seorang raksasi yang menyerang dan menelannya, tetapi Hanuman menyobek perut si raksasi yang kemudian jatuh ke laut. Oleh gunung Menaka, sahabat ayah Hanuman, sang dewa angin, ia dipersilahkan untuk beristirahat dipuncaknya, tetapi karena terdorong oleh rasa tanggung jawabnya terhadap Rama, ia tidak mau menunda perjalanan.”

b.      Motif Pengembaraan dalam Bawang Merah bawang putih
Motif pengembaraan dalam Bawang merah bawang putih ini ketika sang pangeran mengembara untuk mencari permaisuri yaitu bwang putih. Seperti dalam kutipan berikut :
“Pada suatu hari ada Pangeran Kerajaan disertai patih dan pengawal yang melintasi tempat itu. Pangeran sangat tertarik atas keindahan bunga yang mekar di halaman rumah Bawang Putih. Pangeran turun dari kudanya dan bertanya siapakah yang menanam bunga itu. Begitu melihat ada seorang pangeran memasuki halaman rumahnya seketika Bawang merah dan ibunya segera menyambut dengan tergopoh-gopoh”

Analisis :
Dari motif pengembaraan diatas perbedaan kedua cerita tersebut adalah latar belakang pengembaraan, dalam cerita Ramayana pengembaraan dilakukan karena Kaikeyi, ibu Barata yang mengusulkan Baratalah yang seharusnya menjadi Raja sedangkan dalam cerita Bawang merah Bawang putih latar belakang pengembaraan adalah karena sang pangeran ingin mencari permaisuri yang diidamkannya.
Sedangkan persamaan dari kedua cerita tersebut adalah keduanya sama-sama mengembara dan ditemani oleh seseorang. Dalam Ramayana ditemani oleh Sita dan Leksmana sedangkan dalm bawang merah bawang putih ditemani oleh prajurit-prajuritnya.

3.1.3 Motif Pelaksanaan perintah
a. Motif Pelaksanaan perintah dalam Ramayana
Ada beberapa motif pelaksanaan perintah dalam cerita Ramayana, motif-motif tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Ketika Ayah Rama diperintah untuk memepersembahkan sebuah korban agara dikaruniai anak.
“Atas perintah Raja Dasaratha, raja Ayodya dipersembahkan sebuah korban agar ia dikaruniai seorang anak. Alhasil ketiga permaisurinya melahirkan empat orang putera.”
2.      Ketika Rama dan Lesmana akan mengikuti sayembara yang diadakan oleh raja Janaka.
“Atas saran Wiswa, kakak beradik tersebut menuju Mithila, tempat raja Janaka mengadakan sebuah sayembara untuk putrinya yang bernama Sita.”
3.      Ketika Hanuman diperintah Rama untuk membantunya menemukan Sita.
“Ketika akhirnya pada musim permulaan gugur awan-awan hujan menghilang pergi, tibalah waktunya untuk berangkat, membebaskan Sita, tetapi belum ada berita dari Sugriwa. Maka dari itulah lesmana diutus ke Kiskenda. Sugriwa minta maaf dan pasukan-pasukan kera disiapkan dan disebarkan ke segala jurusan. Pasukan yang menuju selatan dipimpin oleh Hanuman dengan didampingi oleh Nila, Anggada dan Jembawan. Mereka sampai dipegunungan Windhya; dalam keadaan letih sekali mereka menemukan sebuah gua;ketika memasukinya kelihatan terang dan cemerlang; ternyata disitulah istana Swayamprabha, putrid raja Danawa.
4.      Ketika Sukasarana diutus Rahwana ke gunung Suwela
“Sukasarana diutus Rahwana ke gunung Suwela untuk mengintai gerak-gerik musuh. Ia dipergoki dan dikembalikan ke Lengka; disana ia melaporkan laporan tentang apa saja yang terjadi dan menasehati Rahwana untuk berdamai tetapi ini justru menimbulkan amarah sang raja. Datanglah Anggada yang membawa ultimatum yang ditolak.”



b.    motif pelaksanaan perintah dalam bawang merah bawang putih
Motif pelaksanaan perintah terdapat ketika bawang putih harus mengikuti perintah saudara dan ibu tirinya, seperti dalam kutipan berikut ini:
 “Bawang putih juga diperintah mencari ranting-ranting kayu bakar untuk menanak nasi dan memasak. Namun gadis ini tak pernah mengeluh. Ia jalani hidup ini dengan tabah, walau kadang ia juga merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Seperti member makan ayam harus dia yang melakukan, padahal itu pekerjaan mudah dan bawang merah pasti bisa melakukannya. Ia juga harus menyapu dan menimbun sampah di belakang rumah. Karena sering bergerak tanpa disadri tubuh bawang putih semakin sintal, padat dan sehat. Kecantikannya tidaklah berkurang karena kesibukannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sementara bawang merah dibiarkan begitu saja. Apabila ada kesalahan sedikit saja ia selalu dimarahi habis-habisan oleh ibu tirinya. Esok harinya, pagi-pagi bawang putih disuruh mencari kayu bakar dan air untuk memasak, sementara Bawang Merah pergi ke sungai sambil membaawa cucian.”
Analisis perbandingan :
Motif pelaksanaan perintah dalam Ramayana lebih cenderung perintah dari atasan kepada bawahan sedangkan dalam Bawang merah bawang putih perintah dari ibu kepada sang anak. Keduanya sama-sama perintah namun jika perintah itu dari atasan yang tak ada ikatan persaudaraan tentulah berbeda dengan perintah dari ibu walaupun itu ibu tiri. Tetapi kedua perintah tersebut sama-sama dipatuhi oleh subjek pelaksanaa perintah tersebut.

3.1.4 Motif Penyamaran
a. Motif Penyamaran dalam cerita Ramayana
Motif penyamaran dalam cerita Ramayana adalah ketika Hanuman menyamar menjadi kelinci, seperti dalam kutipan berikut :
“Akhirnya Hanuman sampai di gunung Suwela menyeberang laut; disana ia menyamar sebagai seorang kelinci untuk menghindarkan diri dari para raksasa yang lalu lalang disana. Menjelang malam hari ia mendekati kota Lengka. Menyusullah sebuah deskripsi panjang mengenai kehidupan para raksasa malam hari. Ada yang mendaras mantra-mantra, melakukan yoga, ada yang berpesta pora, makan dan minum, berkelahi atau bertanding dengan para gadis raksasa. Tersisip juga suatu deskripsi terperinci mengenai candi Siwa di Lengka. Sambil menyamar sebagai seorang raksasa hanuman melacak seluruh kota dan bahkan memasuki kraton; disana ia melihat rahwana sedang tidu tetapi Sita tidak ditemukannya. Dalam ujudnya sendiri ia telah sampai pada sebuah taman pohon-pohon asoka, disebelah timur kota Lengka. Disana rembulna selalu terlihat bulat sempurna atas perintah Rahwana. Dengan hati-hati Hanuman memasuki taman itu sambil menyembunyikan diri di pepohonan. Menjelang fajar ia melihat seorang wanita yang tampak amat bingung dan sedih. Itulah Sita yang susdah sekian lama dicarinya. Tak lama kemudian Hanuman melihat Rawana dating, sekali lagi mencoba membujuk Sita, siap memberikan apa saja assal Sita mau menjadi istrinya. Sita menolaknya dan melukai harga dirinya dengna memuji-muji keunggulan Rama. Dalam amarahnya Rawana mengancam Sita dengan pisau belatinya; akhirnya ia mengundurkan diri setelah memberikan perintah kepada raksasi untuk menakut-nakutinya seta mengganggunya. Tetapi Sita selalu dilindungi oleh Trijata, putrid Wibisono, seorang adik Rawana; dia menjadi teman dan kawannya yang terpercaya. Pada kesempatan itu Sita mencurahkan rasa dukanya kepada Trijata dalam sebuah ratapan panjang dan betapa ia rinu akan kekasihnya. Hanuman merasa puas setelah menyaksikan bukti kesaktiannya, lalu mendekatinya dan menyampaikan bukti kesetiannya, lalu mendekatinya dan menyampaikan kabar tentang Rama; sambil menerangkan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan menunjukkan sebuah cincin yang dititipkan kepadanya ia berhasil melenyapkan rasa curiga Sita yang mengira akan terjebak oleh suatu tipu muslihat dari pihak Rawana. Ia menitipkan sepucuk surat untuk Rama bersama butir manikam. Setelah menunaikan tugasnya, Hanuman meninggalkan dan mulai menghancurkan pohon-pohon di taman.”

b.    Motif Penyamaran dalam cerita Bawang merah bawang putih
Dalam cerita ini terdapat motif penyamaran, seperti ketika sang dewa menyamar menjadi ikan emas yang selalu membantu bawang putih. Seperti dalam kutipan berikut ini :
“Suatu ketika ia mendapati seekor ikan menggelepar-gelepar diataas tanah dekat tepian sungai, rupanya ikan itu jatuh dari jala pencari ikan tanpa diketahui si penjala ikan.
“Kasihan kau ikan!” bisik bawang putih sambil membungkuk.
Bawang putih memungutnya dan dengan hati-hati ia memasukkannya ke dalam air sungai. Sang ikan menatapnya dengn pandangan berterimakasih, kemudian menyelam kedasar sungai. Sesaat kemudian ikan itu menyembul keluar dan mengeluarkan suara, “Terimakasih Bawang putih, karena mengasihi sesame makhluk dan telah menolongku maka aku juga akan membantu kesulitanmu.
“Hai kau bisa bicara ikan?”
“Benar! Sesungguhnya aku adalah ikan jelmaan Dewa”
“Oh…maafkan hamba Dewa..!”
“Tidak mengapa…sekarang masukkan cucianmu kedalam air.” Pinta ikan aneh itu.
Bawang putih memasukkan pakaian-pakaian kotor itu kedalam air. Ikan itu menyelam kembali ke dasar sungai. Begitu Bawang Putih mengangkat pakaiannya seketika pakaian-pakaian itu sudah bersih sekali.
“Terimakasih Pukulun..! Terimakasih..!” kata Bawang putih berkali-kali.
Semenjak saat itu sang ikan menjadi sahabat Bawang putih. Bila bawang putih mencuci pakaian di sungai sang ikan muncul ke permukaan, dan anehnya Bawang Putih mampu menyelesaikan cuciannya yang banyak itu dslsm tempo cukup singkat tanpa merasa lelah. Kiranya sang ikan jelmaan Dewa itu telah membantunya secara ghaib”

Analisis Perbandingan:
Penyamaran dalam cerita Ramayana dan Panji sama-sama penyamaran untuk menolong tokoh utama wanita, yaitu Sita dan Bawang putih. Dalam cerita Ramayana Hanuman menyamar sebagai seekor kelinci untuk mengetahu keadaan Sita di negeri Alengka dan menolongnya agar kembali bersatu dengan Rama. Sedangkan dalam cerita Bawang Merah Bawanng Putih dewata menyamar sebagai ikan juga untuk menolong sang Bawang putih.

3.1.5        Motif Peperangan
a. Motif Peperangan dalam cerita Ramayana
Motif peperangan ini terjadi ketika Rama membantu Sugriwa menyerang Subali dan ketika Hanuman bertarung melawan psukan dari Alengka, seperti dalam kutipan berikut :
 “Dalam pada itu Sugriwa sendiri telah berangkat untuk mencari Rama dan tinggal di gunung Malaya. Dari sana ia berusaha mengutus Hanuman yang menemukan Rama dan Laksmana di gunung Rsyamuka dan mengantar mereka ke gunung Malaya. Sugriwa ingin memperoleh kepastian, bahwa Rama cukup kuat untuk mengalahkan kesaktian Bali. Sekedar untuk membuktikan ini Rama menembus tujuh batang pohon lontar sekaligus dengan sebatang anak panah. Sekarang mereka berangkat bersama-sama dan sampai gua Kiskendha, tempat Bali tinggal. Terjadilah perang dahsyat antara kedua raja kera. Mereka demikian mirip satu sama lain, sehingga Rama yang sudah memasang anak busurnya untuk melepaskan anak panah, meletakkannya kembali karena tidak tahu mana yang harus dibidik. Rama dihardik Sugriwa karena tidak tahu mana yang harus dibidik. Rama dihardik Sugriwa karena tidak mau membantunya seperti telah dijanjikannya. Setelah Rama menglungkan karangan bunga pada leher Sugriwa sebagai tanda pengenal, pertempuran diteruskan dan Bali terluka parah oleh panah Rama. Bali mengecam Rama dengan kata-kata penuh emosi karena kelakuannya yang tidak pantas bagi seorang raja maupun bagi seorang yang menjalani hipup sebagai pertapa. Rama menjawab, bahwa ia telah adil menghukumnya karena Bali telah berzina dengan istri kakaknya sendiri. Bali mengaku salah dan meninggal setelah menyesali perbuatannya. Ia dimakamkan dengan upacara yang pantas bgi seorang raja. Semua kera menghormati Sugriwa dan Anggada, putera Bali, menjadi ahli waris kerajaan. ”
b. Motif Peperangan dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih
Motif peperangan dalam cerita Bawang Merah Bawang putih adalah perang mulut antara bawang merah dan bawang putih. Seperti dalam kutipan berikut:
“Ngapain bekerja keras. Biar si Bawang Putih saja yang melakukannya”
Dan juga perang ketika pangeran dalam perjalanan mencari permaisuri, seperti dalam kutipan berikut :
“ditengah perjalanan tersebut sang Pangeran bertemu dengan seorang penjahat namun berhasil ia kalahkan.”
Analisis Perbandingan :
Motif peperangan dalam kedua cerita tersebut sama yaitu dengan dilator belakangi oleh usahanya untuk menemukan sang tokoh wanita. Namun dalam cerita bawang merang baawang putih juga ada perang batin antara bawang merah dan bawang putih, bawang putih sebenarnya ingin sekali menolak perintah ibu dan saudarnya, namun karena sifat baiknya ia tak kuasa menolaknya.

3.1.6        Motif Pengabdian
a.      Motif pengabdian dalam cerita Ramayana
Motif pengabdian dalam cerita Ramayana adalah ketika si Hanuman bersedia mengabdi kepada Rama. Seperti dalam kutipan berikut ini :
 “Ketika akhirnya pada musim permulaan gugur awan-awan hujan menghilang pergi, tibalah waktunya untuk berangkat, membebaskan Sita, tetapi belum ada berita dari Sugriwa. Maka dari itulah lesmana diutus ke Kiskenda. Sugriwa minta maaf dan pasukan-pasukan kera disiapkan dan disebarkan ke segala jurusan. Pasukan yang menuju selatan dipimpin oleh Hanuman dengan didampingi oleh Nila, Anggada dan Jembawan. Mereka sampai dipegunungan Windhya; dalam keadaan letih sekali mereka menemukan sebuah gua;ketika memasukinya kelihatan terang dan cemerlang; ternyata disitulah istana Swayamprabha, putrid raja Danawa.”
b.      Motif pengabdian dalam cerita Bawang merah bawang putih
Motif pengabdian dalam cerita ini yaitu ketika bawang putih mengabdi kepada ibu tirinya, sepeerti terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Ia jalani hidup ini dengan tabah, walau kadang ia juga merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Seperti member makan ayam harus dia yang melakukan, padahal itu pekerjaan mudah dan Bawang Merah pasti bisa melakukannya. Ia juga harus menyapu dan menimbun sampah di belakang rumah. Karena sering bergerak tanpa disadri tubuh bawang putih semakin sintal, padat dan sehat. Kecantikannya tidaklah berkurang karena kesibukannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sementara bawang merah dibiarkan begitu saja. Apabila ada kesalahan sedikit saja ia selalu dimarahi habis-habisan oleh ibu tirinya. Esok harinya, pagi-pagi bawang putih disuruh mencari kayu bakar dan air untuk memasak, sementara Bawang Merah pergi ke sungai sambil membaawa cucian.”
Analisis Perbandingan :
Dalam cerita Ramayana pengabdian dilakukan oleh hanuman kepada Rama yang merupakan tokoh utama sedangkan dalam bawang merah bawang putih dilakukan oleh tokoh utama yaiti bawang putih kepada ibunya.
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat, ataupun tenaga sebagai perrwujudan kesetiaan, cinta, kasih sayang, hormat, atau satu ikatan dan semua itu dilakukan dengan ikhlas. Pengabdian bisa disebut juga sebagai rasa tanggung jawab. Dalam hal ini pengabdian yang dilakukan oleh Hanuman dan bawang putih dipenuhi juga rasa tanggung jawab yang besar.

3.1.7        Motif Kesaktian
a.      Motif Kesaktian dalam cerita Ramayana
Motif kesaktian adalah ketika Rama mampu mengalahkan Sugriwa, ketika Hanuman mampu mengalahkan raksasa dan ketika kesaktian panah ular jerat indrajit dikeluarkan. Seperti dalam kutipan-kutipan berikut :
“Sekedar untuk membuktikan ini Rama menembus tujuh batang pohon lontar sekaligus dengan sebatang anak panah. Sekarang mereka berangkat bersama-sama dan sampai gua Kiskendha, tempat Bali tinggal. Terjadilah perang dahsyat antara kedua raja kera.”
“Dalam perjalanan lewat udara hanuman berjumpa dengan seorang raseksi yang menyerang dan menelannya, tetapi Hanuman menyobek perut si raseksi dan kemudian jatuh ke laut. Oleh gunung Menaka, sahabat ayah hanuman, sang dewa angin, ia dipersilahkan beristirahat dipuncaknya tetapi karena terdorong rasa tanggung jawab kepada Rama, ia tak mau menunda perjalannanya. Seorang raksasi lainya yang bernama Wikataksini, mencoba menelan hanuman, tetapi usaha ini meyebabkan kematiaannya. Akhirnya Hanuman sampai di gunung Suwela menyeberang laut; disana ia menyamar sebagai seorang kelinci untuk menghindarkan diri dari para raksasa yang lalu lalang disana. Menjelang malam hari ia mendekati kota Lengka. Menyusullah sebuah deskripsi panjang mengenai kehidupan para raksasa malam hari. Ada yang mendaras mantra-mantra, melakukan yoga, ada yang berpesta pora, makan dan minum, berkelahi atau bertanding dengan para gadis raksasa. Tersisip juga suatu deskripsi terperinci mengenai candi Siwa di Lengka.”
“Dengan melakukan yoga ia memperoleh kesaktian istimewa sehingga tidak kelihatan, dan sebuah senjata yaitu “sang panah ular jerat”(nagastrapasa). Demikian ia mengakibatkan kekacauan dalam barisan para kera.”
b.      Motif kesaktian dalam cerita bawang merah bawang putih.
Motif kesaktian adalah ketika duri ikan yang ditanam bawang putih berubah menjadi tanaman bunga yang indah, seperti dalam kutipan berikut:
“Suatu ketika ia mendapati seekor ikan menggelepar-gelepar diataas tanah dekat tepian sungai, rupanya ikan itu jatuh dari jala pencari ikan tanpa diketahui si penjala ikan.
“Kasihan kau ikan!” bisik bawang putih sambil membungkuk.
Bawang putih memungutnya dan dengan hati-hati ia memasukkannya ke dalam air sungai. Sang ikan menatapnya dengn pandangan berterimakasih, kemudian menyelam kedasar sungai. Sesaat kemudian ikan itu menyembul keluar dan mengeluarkan suara, “Terimakasih Bawang putih, karena mengasihi sesame makhluk dan telah menolongku maka aku juga akan membantu kesulitanmu.
“Hai kau bisa bicara ikan?”
“Benar! Sesungguhnya aku adalah ikan jelmaan Dewa”
“Oh…maafkan hamba Dewa..!”
“Tidak mengapa…sekarang masukkan cucianmu kedalam air.” Pinta ikan aneh itu.
Bawang putih memasukkan pakaian-pakaian kotor itu kedalam air. Ikan itu menyelam kembali ke dasar sungai. Begitu Bawang Putih mengangkat pakaiannya seketika pakaian-pakaian itu sudah bersih sekali.
“Terimakasih Pukulun..! Terimakasih..!” kata Bawang putih berkali-kali.
Semenjak saat itu sang ikan menjadi sahabat Bawang putih. Bila bawang putih mencuci pakaian di sungai sang ikan muncul ke permukaan, dan anehnya Bawang Putih mampu menyelesaikan cuciannya yang banyak itu dslsm tempo cukup singkat tanpa merasa lelah. Kiranya sang ikan jelmaan Dewa itu telah membantunya secara ghaib”
“Esok harinya terjadilah keajaiban. Di tempat ikan itu dikubur telah tumbuh tanaman bunga yang indah. Bawang putih merawat tanaman itu dengan penuh kasih sayang”
Analisis Perbandingan :
Kesaktian dalam kedua cerita tersebut memiliki latar belakang yang sama yaitu untuk emenolong tokoh utama, dalam Ramayana untuk menolong Sita sedangkan dalam bawang merah bawng putih untuk menolong si bawang putih yang kehidupannya menyedihkan dibawah asuhan ibu tirinya.



3.1.8        Motif Pengingkaran
a.      Motif Pengingkaran dalam cerita Ramayana
Motif Pengingkaran dalam cerita Ramayana adalah ketika Rawana mengingkari janjinya kepada Sita, seperti dalam kutipan berikut ini :
“Adakah semua ramalan mengenai hari depan Rama itu dusta belaka? Apa gunanya menepati dharna, begini ganjarannya? Demikianlah para dewa menentukan nasip seorang insane? Ia memutuskan untuk mengikuti Rama kea lam maut dan meminta kepada Rawana untuk membunuhnya. Dengan  rasa marah dan malu raja itu mengundurkan diri. Sita dan Trijata mempersiapkan diri untuk mati diatas api unggun, tetapi Trijata setelah merasakan kedipan pada kelopak matanya yang kiri (suatu pertanda yang membawanya keberuntungan), memutuskan untuk menemui Wibhisana.”
b.      Motif Pengingkaran dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih
Motif Pengingkaran adalah ketika Bawang Merah dan ibunya mengibuli Bawang putih bahwa mereka berpura-pura baik hati dengan member makan kepada bawang putih. Seperti dalam kutipan berikut :
“Ketika Bawang putih pulang sehabis mencari kayu bakar, mereka berpura-pura berbaik hati. Mereka sediakan nasi diatas meja, lalu bawang putih dipersilahkan makan.”

Analisis Perbandingan :
Pengingkaran dalam dua cerita tersebut berbeda, dalm Ramayana Rawana berbuat ingkar karena ingin mendapatkan Sita sedangkan dalam Bawang Merah bawang putih ibu tiri dan bawang merah berbuat ingkar karena rasa iri kepada baawang putih


3.1.9        Motif kebencian
a.      Motif Kebencian dalam cerita Ramayana
Motif Kebencian dalam cerita Ramayana adalah kebencian Sita kepada Rawana yang telah menculiknya, seperti dalam kutipan berikut ini :
“Adakah semua ramalan mengenai hari depan Rama itu dusta belaka? Apa gunanya menepati dharna, begini ganjarannya? Demikianlah para dewa menentukan nasip seorang insane? Ia memutuskan untuk mengikuti Rama kea lam maut dan meminta kepada Rawana untuk membunuhnya. Dengan  rasa marah dan malu raja itu mengundurkan diri. Sita dan Trijata mempersiapkan diri untuk mati diatas api unggun, tetapi Trijata setelah merasakan kedipan pada kelopak matanya yang kiri (suatu pertanda yang membawanya keberuntungan), memutuskan untuk menemui Wibhisana.”
b.      Motif Kebencian dalam cerita Bawang merah bawang putih
Motif kebencian ditunjukkan oleh ibu tiri dan Bawang merah kepada bawang putih. Seperti dalam kutipan berikut:
“Bawang putih selalu dibebani pekerjaan yang berat-berat, misalnya mengambil air dari sumber yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ia jalani hidup ini dengan tabah, walau kadang ia juga merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Seperti member makan ayam harus dia yang melakukan, padahal itu pekerjaan mudah dan Bawang Merah pasti bisa melakukannya. Ia juga harus menyapu dan menimbun sampah di belakang rumah. Karena sering bergerak tanpa disadri tubuh bawang putih semakin sintal, padat dan sehat. Kecantikannya tidaklah berkurang karena kesibukannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sementara bawang merah dibiarkan begitu saja. Apabila ada kesalahan sedikit saja ia selalu dimarahi habis-habisan oleh ibu tirinya. Esok harinya, pagi-pagi bawang putih disuruh mencari kayu bakar dan air untuk memasak, sementara Bawang Merah pergi ke sungai sambil membaawa cucian.”
Analisis Perbandingan:
Motif  kebencian dalam kedua cerita tersebut sangatlah berbeda, dalm cerita Ramayana kebencian itu didasarkan pada rasa sengit Sita kepada Rawana yang telah berbuat jahat sedangkan pada Bawang merah bawang putih kebencian itu didasarkan pada rasa iri dari Bawang Merah dan ibunya kepada Bawang putih.



3.1.10    Motif Bertapa
a.      Motif Bertapa dalam cerita Ramayana
Adalah ketika Rama, Leksmana dan Sita memutuskan untuk bertapa setibanya di dhadaka, seperti dalam kutipan berikut ini :
“Rama, Sita dan Laksmana meneruskan pengembaraan mereka dan tiba di hutan Dandaka, tempat mereka membunuh seorang raksasa yang bernama Wiradha, yang menyerang mereka; sesudah itu mereka menetap di pertapaan Sutiksna dan menjalani kehidupan sebagai pertapa. Senjatanya hanya mereka bawa untuk melindungi pertapa-pertapa lainnya”

Analisis :
Motif bertapa tidak ada dalam cerita Bawang merah bawang putih, motif ini hanya ada dalam cerita Ramayana. Dalm cerita bawang merah bawang putih hanya terjadi pengembaraan namun dalam pengembaraan tersebut tidak bertapa, sedangkan dalam cerita Ramayana terjadi pengembaraan juga terjadi tapa.


3.2    Penokohan
3.2.1 Penokohan Dalam cerita Ramayana
Berikut adalah daftar tokoh dalam cerita Ramayana
No
Tokoh
Keterangan
Kategori
1
Rama
Anak Raja Dasaratha + Kausalya
Protagonis
2
Sita
Putri Raja Janaka
Protagonis
3
Laksmana
Adik Rama beda ibu
Protagonis
4
Raja Dasaratha
Ayah Rama
Protagonis
5
Kausalya
Istri Raja Dasaratha, ibu Rama
Protagonis
6
Kaikeyi
Istri Raja Dasaratha, ibu Bharata
Protagonis
7
Bharata
Anak Raja Dasaratha +Kaikeyi
Protagonis
8
Sumitra
Istri Raja Dasaratha, ibu Laksmana dan Satrugna
Protagonis
9
Laksmana
anak Raja Dasaratha + Sumitra
Protagonis
10
Satrughna
anak Raja Dasaratha + Sumitra
Protagonis
11
Rsi Wiswamitra
Yang memohon bantuan Rama untuk mengalahkan Raksasa
Protagonis
12
Marica
Raksasa yang menyerang Rama
Antagonis
13
Wiswamitra
Yang menyarankan Rama dan Laksmana ke Mithila
Protagonis
14
Raja Janaka
Raja di Mithila, ayah Sita
Protagonis
15
Rama Bargawa
Seorang pertapa yang suka berperang
Antagonis
16
Surpanakha
Adik Rawana
Antagonis
17
Trisirah
Teman Surpanakha
Antagonis
18
Khana
Teman Surpanakha
Antagonis
19
Dursana
Teman Surpanakha
Antagonis
20
Rawana
Yang menculik Sita
Antagonis
21
Jatayu
Sahabat Raja Dasaratha
Protagonis
22
Dirghabahu
Raksasa yang terkena kutukan
Protagonis
23
Sibari
Teman Dirghabahu
Protagonis
24
Sugriwa
Raja Para Kera, yang membantu Rama
Protagonis
25
Tara
Istri Sugriwa
Protagonis
26
Hanuman
Kera utusan Sugriwa untuk membantu Rama
Protagonis
27
Subali
Saudara kembar Sugriwa
Protagonis
28
Anggada
Anak Subali
Protagonis
29
Dewa Kama
Yang mengingatkan Rama
Protagonis
30
Nila
Yang menemani Hanuman mencari Sita
Protagonis
31
Jambawan
Yang menemani Hanuman mencari Sita
Protagonis
32
Swayampraba
Yang mempunyai istana di gua
Protagonis
33
Sampati
Adik Jatayu
Protagonis
34
Wikataksini
Yang menyerang Hanuman
Protagonis
35
Trijata
Putri Wibhisana, sahabat Sita
Protagonis
36
Wibhisana
Saudara Rawana yang baik
Protagonis
37
Meghanada
Anak Rawana
Antagonis
38
Siwa
Tuhan dalam agama hindu
Protagonis
39
Prahasta
Patih Rawana
Antagonis
40
Kumbhakarna
Saudara Rawana
Antagonis
41
Dhumraksa
Raksasa jahat
Antagonis
42
Akampana
Raksasa jahat
Antagonis




a.       Rama
Rama merupakan putra Raja Ayodya yang menikahi Sita karena memenangkan sebuah sayembara. Setelah menikah ia diwarisi tahta oleh sang ayah, namun karena suatu janji tahta itu diserahkan kepada saudara tuanya Bharata. Kemudian ia mengembara ke hutan bersama Sita dan Laksmana, adiknya.
b.      Sita
Sita merupakan putri Raja Janaka, ia kemudian diperistri oleh Rama karena memenangkan sayembara. Kemudian mereka mengembara di hutan dan Sita menginginkan kijang emas yang dilihatnya dihutan. Namun ternyata kijang itu adalah inisiatif licik Rahwana. Sita adalah seorang istri yang sangat setia.
c.       Leksmana
Leksmana adalah adik Rama yang berbeda ibu,  ia dengan setia mengikuti pengembaraan Rama, kakaknya dan Sita. Leksmana disukai oleh adik Rahwana Surpanakha yang menyamar menjadi wanita cantik namun ia tidak menyukainya dan kemudian memotong hidung Surpanakaha. Surpanakha kemudian sakit hati dan mengadukan kejadian itu kepada Rahwana.
d.      Rawana
Rawana adalah seorang raksasa yang menjadi raja di Alengka. Adiknya Surpanakha tertarik dengan Laksmana namun Laksmana tidak tertarik dengan dirinya dan memotong hidungnya. Ia merasa sakit hati dengan Rama dan Laksmana kemudian ia melaporkan kejadian itu kepada sang kakak Rawana. Dan ia juga mengabarkan kecantikan Sita. Rawana kemudian mengutus Marica untuk menemui Rama dan menyamar sebagai kijang emas.
e.       Hanuman
Hanuman adalah seekor kera dan anak buah dari Sugriwa. Ialah yang diutus oleh Sugriwa untuk membantu Rama dalam pencariannnya. Dalam cerita ini dilukiskan Hanuman adalah seorang pertapa di gunung Rsyamuka.
f.        Sugriwa
Sugriwa adalah saudara kembar Subali, Subali merebut istri Sugriwa ketika yang bernama Tara, Sugriwa adalah raja para kera temasuk Hanuman. Ia yang membantu Rama membebaskana Sita.
g.       Raja Dasaratha
 Raja  kerajaan Ayodya mempunyai 3 orang istri yaitu: Kausalya, Kaikeyi, dan Sumitra, dan mempunyai 4 orang anak yaitu: Bharata, Rama, Laksmana dan Satrughna.
h.       Kausalya
Istri Raja Dasaratha, ibu Rama

i.         Kaikeyi
Istri Raja Dasaratha, ibu Bharata

j.        Bharata
Adik Rahwana beda ibu yang diwarisi tahta oleh sang ayah


k.      Rsi Wiswamitra
Yang memohon bantuan Rama untuk mengalahkan Raksasa

l.         Sumitra
Istri Raja Dasaratha, ibu Laksmana dan Satrugna

m.     Satrughna
Anak Dasaratha dan Sumitra

n.       Marica
Raksasa yang menyerang Rama dan Leksmana dan menyamar sebagai kijang emas.

o.      Raja Janaka
Raja Di Mithila dan merupakan Ayah dari Sita.

p.      Rama Bargawa
Raksasa yang menyerang Rama dan ingin mengalahkan Rama.

q.      Jatayu
Sahabat dekat Raja Dasaratha dan yang menyampaikan kepada Rama bahwa Sita ada ditangan Rawana.

3.2.2 Penokohan dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih

Tokoh dalam cerita Bawang Merah Bawang Putih
No
Nama Tokoh
Keterangan
Kategori
1.
Bawang Putih
Saudara tiri Bawang merah
Protagonis
2.
Bawang Merah
Saudara tiri Bawang putih
Antagonis
3.
Ibu Tiri
Ibu kandung Bawang Merah
Antagonis
4.
Ayah
Ayah kandung bawang putih yang sudah meninggal
Protagonis
5.
Ikan ajaib
Dewa yang menyamar sebagai ikan ajaib
Protagonis
6.
Pangeran
Pangeran yang memperistri bawang putih
Protagonis
7.
Prajurit
Prajurit pangeran
Protgonis
8.
Penjahat
Penjahat yang menghadang pangeran dalam perjalanannya menemui bawang putih
Antagonis

.
a.       Bawang Putih
Bawang putih adalah tokoh utama dimana dia bersifat baik dan tidak ada kejelekannya.

b.      Bawang Merah
Bawang Merah adalah tokoh antagonis dimana ia selalu saja iri dengan  apa yang diperoleh bawang putih.

c.       Ibu Tiri
Ibu tiri bawang putih ini selalu berada di pihak bawang merah, mereka bersekongkol untuk menindas Bawang putih.

d.      Pangeran
Setelah mengembara akhirnya sang pangeran ini memiliki permaisuri seperti yang diinginkannya.

e.       Ikan ajaib
Ikan ini adalah jelmaan dewa yang diciptakan untuk selalu menolong bawang putih.

Analisis Perbandingan penokohan :
Dilihat dari jumlah tokohnya saja jelas sudah kelihatan berbeda, Ramayana lebih banyak memiliki tokoh dan ceritanya lebih runtut serta detail. Persamaannya adalah keduanya sama-sama mempunyai tokoh wanita yang pada endingnya akan bertemu dengan sang pangeran.

3.3    Judul
3.3.1 Ramayana
Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa  yang berarti "Perjalanan Rama".
3.3.2 Bawang Merah Bawang Putih
Bawang merah dan bawang putih adalah nama sebuah bumbu masakan.
Analisis Perbandingan :
Kedua crita ini memiliki judul dengan nama tokoh utama, dilihat secar semantis Ramayana adalah perjalanan Rama sedangkan Bawang merah bawang putih adalah sebuah nama bumbu masakan dijawa. Menurut saya mengapa judul cerita ini Bawang Merah Bawang putih? Adalah karena tak lain bumbu bawang merah dan bawang putih adalah bumbu khas Jawa sedangkan isi ceritanya adalah hampir sama dengan Ramayana yaitu berakhir dengan bahagia, seperti dongeng jawa pada umumnya. Ini disebabkan karena masyarakat Jawa lebih cenderung menyukai cerita yang berakhir kebahagiaan.


3.4    Ending Cerita
3.4.1 Ending Cerita Ramayana
“Setibanya di Ayodhya Bharata dan ibu Rama tampil menymbut mereka. Dengan upacara resmi mereka disambut, sedangkan rakyat riang gembira. Diadakan pesta meriah sekedar untuk merayakan kembalinya mereka dan terkumpulnya dengan sanak saudara. Rama dan Sita menyerahkan diri kepada kenikmatan bersma yang kini ditemukan kembali. Setelah sepuluh hari berlangsung para tamu mohon diri. Dengan terharu Sita mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Trijata. Mereka semua pulang, ke rumah masing-masing.”

3.4.2 Ending Cerita Bawang Merah Bawang putih
“Sementara Pangeran mendekati Bawang putih dan memegang tangannya sambil berkata,” Diajeng Bawang Putih bersediakah engkau menjadi istriku?” , bawang Bawang Putih mengangguk pelan. Wajahnya tertunduk malu. Demikianlah bawang putih yang baik hati dan senantiasa bersabar atas derita itu akhirnya diboyong ke istana untuk dijadikan istri Pangeran. Mereka hidup bahagia hingga akhir hayatnya.”

Analisis Perbandingan :
Kedua cerita sama-sama mempunyai ending cerita bahagia. Ini mungkin dikarenakan masyarakat Jawa yang tidak suka dengan cerita sedih.





BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Dari analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa cerita Bawang Merah Bawang Putih merupakan cerita dari hasil resepsi pembaca mengenai cerita Ramayana. Hal ini dapat dilihat dari :
a.       Motif-motif cerita yang mirip
Motif percintaan, kesetiaan, peperangan, pelaksanaan perintah
b.      Penokohan yang mirip
Adanya tokoh protagonis dan antagonis
c.       Ending cerita yang sama.
Sama-sama bahagia

4.2  Saran
  Berdasarkan hasil penelitian dalam penelitian ini, disarankan kepada pembaca dan peminat sastra bahwa:
1.      Pembaca diharapkan memperkaya bacaan dengan adanya penilitian ini.
2.      Penelitian dan kajian akan sangat bermanfaat dalam membantu memperkaya bahan ajar guru dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.







DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah pengantar. Gramedia:Jakarta.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta :Gajah Mada University Press
Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Ratna, Nyoman Khuta, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitiaan Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukadaryanto. 2010. Sastra Perbandingan. Semarang: Griya Jawi.
Yaniar, Renny. 2011. Bawang Merah Bawang Putih. Jakarta : Gramedia  Pustaka Utama
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kasusastraan. Jakarta :Gramedia
Zoetmulder, P.J. 1973. Kalangwan (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko SJ dari judul Asli A Survey of Old Javanese literature). Jakarta: Anggota IKAPI











Tidak ada komentar:

Posting Komentar